Alasan Seorang Ibu

Jumat, 16 Desember 2011



Aku melangkah tergesa. Tak sabar rasanya supaya segera sampai di rumah. Dalam benakku tergambar senyum mengembang di bibir Ayah. Membayangkan senyum Ayah kedua kakiku semakin gesit berloncatan.
“Aku menang lomba menulis cerpen, yah,” ucapku begitu menginjak teras sambil memamerkan piala di tanganku.

Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya lalu menatapku sebentar, setelah itu membaca lagi. Melihat wajah datar Ayah senyum di bibirku surut. Bergegas aku masuk rumah, mencari ibu.
“Ibu,” panggilku. Tidak ada jawaban.
“Ibu,” ulangku.
Masih bisu. Kucari ke kamar, tak ada, kamar mandi kosong, di dapur pun aku juga tak menemukan ibu. Kutinggalkan dapur lalu masuk ke kamar. Kutaruh piala kuning keemasan itu di atas meja belajarku. Kurebahkan tubuh di kasurku yang empuk sambil memejamkan mata. Tapi baru beberapa menit aku rebahan telingaku mendengar suara ibu sayup-sayup dari luar.
“Dira mau hadiah apa, sayang?”
“Dira mau dibelikan sepeda motor,” suara Dira, kakakku.
“Keinginanmu nanti ibu sampaikan pada ayah,” sahut ibu.
“Dengan atau tanpa persetujuan ayah, pokoknya Dira harus punya motor,” Dira ngotot.
Pelan-pelan kuseret langkah ke luar kamar.
“Ibu, dari mana?” tanyaku.
“Dari BCS, Ran. Kakakmu juara satu lomba fashion di BCS,” kata ibu dengan mata berbinar.
Aku tersenyum sambil mengucapkan selamat ke Dira, kakakku.
“Itu apa?” tanya ibu melihat piala di atas meja belajarku.
“Rani juara dua lomba menulis cerpen antar pelajar, Bu.” kataku.
Ibu diam.
“Boleh di pajang di lemari depan ga, Bu?”
Ibu menggeleng, “Disimpan di kamar saja. Lemari depan khusus tempat piala-piala milik kakakmu,” tegas ibu.
Ada perih di ujung hatiku.
Beberapa hari setelah kejadian itu aku membawa satu tas besar pakaian untuk menginap di rumah Intan, teman sekelasku. Jarak rumah Intan hanya beberapa meter dari sekolah.
“Sudah bilang sama ibumu mau nginap di sini?” tanya Intan.
Aku menggeleng, “Ibu tidak akan kehilangan meskipun aku mati.” jawabku agak ketus.
“Jangan bicara seperti itu.”
“Ibu baru akan ribut kalau Kak Dira yang hilang. Kalau aku sih, mungkin tidak perduli.”
“Jangan terus kau pupuk cemburumu itu.”
“Aku tak akan cemburu andai mereka tak pilih kasih.”
“Mungkin seperti itu cara mereka menyayangi kalian.”
“Entahlah, aku tak mengerti.” kataku malas.
Aku membalikkan tubuh memunggungi Intan. Diam-diam kuseka mataku yang basah.
Seperti dugaanku ibu tak peduli meski aku tak pulang berhari-hari. Ayah pun tak risau meski anak gadisnya tak memberi kabar.
“Tante, saya minta izin untuk tinggal di sini satu minggu lagi, boleh?” kataku setelah beberapa hari berselang kepada ibunya Intan.
“Tante sih boleh saja. Tapi Rani kasih kabar dulu ke orangtua, ndok..,” kata Ibunya Intan lembut dengan logat jawanya.
Aku hanya tersenyum, dan pergi menemui Intan.
“Tan, senang ya punya ibu seperti ibumu. Andai ibuku seperti ibumu.” kataku.
“Kok kamu bilang gitu Ran? Tidak boleh membandingkan orangtua sendiri.”
“Yah, memang itu kenyataannya.”
“Kamu ga kabari orangtuamu dulu?”
“Ah, mereka saja tidak perduli kok.”
Melihat keras kepalaku Intan hanya menggeleng tak bersuara. Aku bertekad akan pulang jika ibu menjemput dan memintaku pulang dengan penuh kelembutan. Seperti yang ibu lakukan beberapa tahun yang lalu terhadap Kak Dira, saat gadis itu ikut kemah bersama organisasi pramukanya di tengah hutan. Saat berhari-hari Kak Dira tak pulang ibu luar biasa panik. Kemudian ibu meminta ayah menyusul Kak Dira. Ketika tiba di rumah Kak Dira disambut bagai ratu, syukuran besar-besaran lagi-lagi digelar karena tak terjadi apa-apa terhadap gadis tinggi semampai itu.
Saat ingatanku menerobos ke masa lalu tiba-tiba handphoneku bergetar, nomor rumah. Aku sangat berharap kalau itu ibu yang menelepon memintaku agar pulang.
“Ibu masuk rumah sakit, Non,” terdengar suara Bik Warsih, pembantu di rumah kami.
“Kapan? Kenapa?” tanyaku panik bertubi-tubi.
“Sejak dua hari yang lalu…”
“Kenapa aku baru dihubungi sekarang, Bik…?” potongku.
“Nomor non Rani tidak bisa dihubungi dari kemarin.”
Aku menelan ludah pahit. Menyesal mematikan handpone selama dua hari ini. Begitu teleponnya ditutup aku langsung bergegas ke rumah sakit diantar Intan.
Saat tiba di ruangan ICU kulihat tubuh ibu dibalut selang infuse. Aku menangis melihat kondisi ibu.
“Ibu sakit apa, Yah?” tanyaku pada ayah yang memegangi lengan ibu.
“Dua hari yang lalu kaki ibu terpeleset saat mau ke luar kamar mandi.”
“Lalu…” kejarku tak sabar.
Ayah diam sambil menyeka matanya yang basah. Aku menunggu.
“Kepala ibu pecah, darah menyembur, dokter bilang ibu harus dioperasi. Tetapi sejak dioperasi ibu belum sadar sampai sekarang.”
Aku merinding mendengarnya.
Sekarang sudah memasuki minggu kedua, tapi kondisi ibu tidak ada memperlihatkan perkembangan berarti.
Hari ini aku yang menunggu dalam ruang ICU. Kugenggam jemari tangan ibu yang hangat erat-erat. Pelan tangan itu bergerak. Aku tersentak. Kulihat bibir ibu juga bergerak. Seperti mengeluarkan suara meski tak jelas. Kudekatkan telingaku ke bibir ibu.
“Rani,” ucap ibu lirih.
Aku tak yakin pada pendengaranku.
Hening. Aku semakin mendekatkan telingaku, menunggu suara wanita yang ada di depanku ini memanggilku lagi. Tapi mulut itu tak lagi bersuara. Namun rasa gembira tetap menyergapku.
“Dimana Dira dan ayahmu?” ibu bertanya tiba-tiba.
“Mereka di luar, biar Rani…” gegas aku beranjak dari pembaringan ibu.
“Jangan!” cegah ibu.
Aku berbalik, bingung.
“Saat ini ibu ingin berdua saja denganmu.”
Aku mendekat. Menduga-duga. Kulihat wanita itu menarik nafas panjang.
“Ibu tahu kamu cemburu pada Dira. Ibu tak pernah merayakan apapun saat kamu meraih sesuatu.”
Sunyi sesaat.
“Ketahuilah, Nak. Biaya syukuran itu mahal, itulah sebabnya ibu hanya membuatnya untuk Dira,” kata ibu dengan mata berkaca-kaca.
Aku diam saja, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut ibu.
“Jika perhatian ibu lebih besar pada Dira karena menurut ibu Dira tak sekuat kamu, Ran. Ibu tahu kalau kamu adalah anak yang kuat.”
“Ibu menyayangiku?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ibu tak segera menjawab. Seketika aku merasa aku melontarkan pertanyaan yang bodoh. Pelan wanita itu bangkit seraya memelukku, “Tak ada orang tua yang tak sayang kepada anaknya, apalagi anaknya itu membanggakan.” ucap ibu diantara isaknya.
Meski semula enggan, pelan-pelan aku membalas pelukan ibu. Aku melepaskan rindu karena sudah lama tidak dipeluk oleh Ibu seperti ini. Beberapa saat tak ada suara. Kurasakan ibu semakin mempererat pelukannya. Lama. Namun saat aku melepas pelukan, kudapati ibu tak lagi bergerak. Tubuhnya mulai terasa dingin. Dan aku pun kembali memeluk tubuh yang dingin itu dengan berurai air mata.
“Rani sayang ibu.. Ibu.. Maafkan Rani.” isakku

2 komentar:

  1. cemplukk mengatakan...:

    jd pengen mudikkkk atuh

  1. Unknown mengatakan...:

    haha.. iya.. pulang gih.. :)

Posting Komentar

Hujani Komentar Please