Tak Punya Hak

Rabu, 25 Maret 2015
Pagi ini, ketika matahari mulai ceria; menampakkan aura bahagia dengan cahaya yang istimewa. Aku justru sedang bersedih. Aku benar-benar butuh tempat untuk mengadu. Mengadu !

Siapa pun mungkin akan butuh tempat mengadu ketika berada diposisiku sekarang. Bagaimana mungkin, aku bahkan tidak punya hak untuk memikirkan perasaanku. Tidak punya hak untuk mengatakan apa yang aku rasa. Bahkan untuk bicara sekalipun.
Sabar memang tidak enak.. ^_^ Tidak pernah enak!


Ketika semua orang disekitarmu mulai memaki. Menyumpahi. Mengata-ngatai dibelakangmu tapi kau mendengarnya.

Ketika orang yang sangat kau cintai bahkan tak mau berbagi bahagia lagi. Memutuskan hakmu.

Ketika semua ibadahmu selalu dibanding-bandingkan dengan saudaramu yang lainya. Bukankah ibadahmu adalah urusanmu dengan Tuhanmu?

Mengapa hidup ini begitu berat ketika ingin memulai sesuatu yang baik?

Satu-satunya tempat mengadu adalah Allah; Tuhanku. Sang Maha segala-galanya.

Semoga Allah senantiasa membolak-balikkan hati mereka yang memaki, menyumpahi, mengata-ngatai, memutuskan hakku, dan bahkan selalu membanding-bandingkan ibadahku.

Dan semoga aku bisa punya sabar yang tidak berujung. Bisa meluaskan sabar dihati seluas samudera. Aamiin.

Mereka yang Datang

Rabu, 11 Maret 2015
Sayang..
Beberapa hari ini hujan. Aroma tanah kesukaanku bisa kuhirup dalam-dalam. Segar sekali.



Sayang..
Hari ini udara seperti berkali-kali meminta kupeluk erat.
Seperti tak ingin kuabaikan sedetikpun.
Kau tahu kan aku begitu menyukai mereka?
Hujan, aroma tanah ketika hujan, dan dingin.
Sama seperti rasa sukaku kepadamu. Terlalu.
Mereka yang ku suka seperti memahami kesedihanku tanpamu.
Mereka yang ku suka seolah menyemangatiku.
Mereka yang ku suka sedang berusaha menghiburku yang selalu sepi.


Mereka benar-benar menenangkan hatiku.
Setidaknya aku tidak sendiri hari ini, Sayang..
Hari ini begitu mudah kulalui.

Mimpi burukku seperti terobati seketika. Sembuh. Tak bersisa luka.
Tidak ada air mata saat melihat namamu diponselku.
Tidak juga ketika kusebut namamu dalam doa-doaku.
Aku sudah menjadi biasa tanpamu.
Aku baik-baik saja, Sayang..
Aku sudah menjadi wanita kuat seperti yang kau mau.
Aku bahkan tak lagi menangis ketika mengingat sikapmu.
Mendorongku. Mengabaikanku.
 

Aku mampu, Sayang..
Jadi biarkan aku terus seperti ini.
Seperti yang kau mau.
Seperti tebu yang telah kau hisap habis manisnya.

Tak apa, Sayang..
Meski aku suka. Meski aku memohon.
Tolong...
Jangan pernah kembali.
Jangan pernah mengobati.
Karena aku tak mau kau lagi.

Apa Ini Cinta?

Minggu, 08 Maret 2015
Setelah banyak yang terjadi akhir-akhir ini, timbul banyak pertanyaan aneh yang berputar-putar dikepalaku. Tentang seseorang yang benar-benar seperti menginginkan untuk aku perjuangkan. Meski sebetulnya telah tinggal lama dihatiku. Seseorang yang membuat hatiku tiba-tiba menjadi "memar"; terhantam.
Dari banyak obrolan yang kami bicarakan (meskipun hanya lewat telepon; kami LDR), aku dapat membaca satu ujung dari semua rangkaian kata-katanya. Aku mengerti jika dia seolah berkali-kali berkata "berjuanglah mengambil hatiku".
Apakah kata-kata itu menggangguku? || Iya. Jelas. || Mengapa? || Karena kata-kata itu keluar setelah kami menjadi pasangan kekasih selama sepuluh tahun. Karena dia laki-laki. Dan karena seharusnya tidak ada yang harus diperjuangkan jika masih sama-sama cinta.
Mengapa aku harus berjuang mengambil hatinya?
Memangnya kenapa dengan hatinya?
Apa hatinya bukan milikku lagi, sehingga aku harus benar-benar berjuang memilikinya?
Apa dia sudah tidak bisa meneruskan tetap tinggal disisiku jika aku tidak memperjuangkan hatinya?
Aku seperti ingin berteriak. Memaki diriku sendiri. Betapa tidak, aku yang seperti kerbau dicokok hidungnya hanya menurut saja ketika dia menyuruhku berusaha sekuat tenaga "memperjuangkannya" lagi. Apa aku punya hati yang besar untuk memperjuangkan orang yang tidak memperjuangkanku?
Dalam otakku yang kecil ini, tiba-tiba dipenuhi banyak pikiran yang tidak karuan. Banyak pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan padanya, tapi tidak pernah bisa tersampaikan.
Apa hanya aku yang harus memperjuangkan hatinya, berusaha memikat hatinya agar kembali padaku?
Apa hanya dia yang boleh diperjuangkan (tiba-tiba aku merasa egois)?
Kenapa dia juga tidak memperjuangkan aku (bertambah egois), bukankah jika sudah "saling cinta", tidak harus berjuang sekuat tenaga untuk memiliki. Untuk mengambil hati. Tidak diminta pun pasti akan saling memberi.
Haha... Lalu ini apa?
Bukankah jawabannya sudah pasti? Sudah pasti dia tidak lagi mencintai aku.
Mungkin aku semembosankan yang dia pikir, sehingga dia bahkan harus banyak berpikir untuk menyerahkan hatinya padaku? Atau mungkin aku tidak berhak memiliki hatinya?
Arrgh......
Dia benar-benar menjadikanku orang yang banyak berpikir negatif belakangan ini.
Meski pada akhirnya aku memutuskan untuk berusaha "memperjuangkan" hatinya lagi, aku menyadari satu hal. Semua tidak akan kembali seperti dulu. Karena aku kekasihnya. Karena aku mengenalnya. Dan karena akupun tahu, memar hati yang sudah terlanjur biru itu, tidak akan pulih meskipun kelak aku mampu mendapatkannya setelah lelah berjuang.
... dan yang paling aku takutkan adalah aku justru tidak bisa tetap tinggal disisinya lagi. Karena kesia-siaan yang dia lakukan padaku telah terlanjur mengubah biru hatiku.
Karena cinta seharusnya SALING MEMPERJUANGKAN.
Karena cinta seharusnya BERSEDIA MEMBERI meski tidak diminta.
Karena cinta seharusnya TETAP TINGGAL bukan MEMINTA DIPERJUANGKAN.
Sudut renungan..
Sambil mendengarkan, Teruskanlah by AgnezMo
8 Maret 2015