Mencandu Hujan

Jumat, 02 Maret 2012




Teras rumah ku masih terasa sangat lembab dipermukaan telapak kaki ketika dengan sengaja aku menginjaknya. Hujan memang sudah dari tadi reda. Menyisahkan aroma wewangian tanah yang sangat khas dan selalu mampu menarikku keluar rumah untuk menghirupnya.

Aku kecanduan. Ah.. hanya kata dengan konotasi negatif itu yang terasa pas aku sematkan pada kebiasaan aneh ini. Dan bukan hanya pada aroma wewangiannya tanah setelah hujan saja kecanduan aneh ku ini berhenti. Dari kecil dengan diam-diam dan tanpa sepengetahuan siapapun kecuali Yosril, aku sudah mencandu hujan. Menjadi penikmat setia hujan. Yosril lah yang pertama kali tahu bahwa aku seorang pecandu tanpa aku beri tahu. Dan berkat kebiasaan mencandu itu akhirnya kami bisa bersahabat dan sama-sama sering mencandu.

***


“Jadi semua sudah jelas ya dengan penjelasan saya tentang Zona Ring Of Fire dan ujung lempeng samudera tadi. Minggu depan tugas paper Geomorfologi sudah harus dikumpulkan.”

Suara Pak Gede dosen galak yang sedikit genit itu disambut ramai oleh anak-anak. Ini kuliah sore terakhirku minggu ini.

Meskipun kuliah sudah selesai, tapi masih banyak teman-temanku yang bertahan di dalam ruangan, mengingat di luar sedang turun hujan deras. Hanya ada beberapa temanku yang sudah pulang karena kebetulan membawa payung atau senang berada diluar menikmati dinginnya hujan. Sedang aku, kali ini aku lebih memilih memandang hujan dari balik jendela kelas sembari menghirup aroma wewangian tanah yang berhembus lalui fentilasi udara.

“Hei.. Ngelamun aja lo, Ser!” Sergap Rena dari belakang mengagetkanku.
Aku yang masih kaget hanya membalas senyum.
“Lo belum pulang?” tanya Rena lagi.
“Belum Na. Masih nikmat nih. Sayang kalo di tinggalin.” Jawabku tanpa menoleh.
“Kebiasaan ya lo, Ser. Tahan kenyang makan hujan dari pada makan nasi.” Gumannya pelan sambil ikut memandang ke luar jendela.
“Lo belum tahu sih gimana enaknya mencandu.” Balasku tidak mau kalah.
“Udah ah, ayolah pulang. Gue dah ditungguin nyokab nih dirumah. Sepupu gue baru dateng dari Riau” Bujuk Rena sambil menarik-narik pelan kemeja biruku.
“Lo pulang duluan aja ya Na. Gue masih mau disini. Lagian temen-temen juga belum banyak yang pulang.”
“Tapikan gue pulangnya nebeng lo, Ser. Tega ya lo biarin cewek manis kaya gue pulang sendirian hujan-hujan gini.” Rengek Rena lagi sambil memperbaiki dandanannya.

Aku tertawa geli melihat kelakuannya. Sahabat ku satu ini memang centil banget. Wajar kalau banyak temen cowok di kampus yang berani mati-matian mengejar cintanya. Tubuhnya semampai, wajahnya cantik, dan manja. Sayangnya dia berkali-kali cerita kalau dia belum mau pacaran setelah patah hati yang terakhir sekitar 2 tahun yang lalu. Belum bisa move on alasanya. Ah.. alasan klise sebetulnya.

“Oke gue anterin. Tapi traktir gue Soup Janda yaa.” Nego ku sambil menarik tangannya keluar.

Sebenarnya sayang meninggalkan hujan dan wewangian tanah yang sedang meluapkan rindu padaku ini. Tapi rasa ibaku pada Rena muncul ketika melihatnya pura-pura memelas. Aku kasihan juga akhirnya. Dari dua hari yang lalu dia terpaksa naik angkot ke kampus karena mobilnya masuk bengkel. Dan aku jadi sopir pribadi dadakannya. Huufh (benerin poni).. hihi..


***

            “Yosril Mahendra Saputra !!” lafal ku sambil sedikit teriak.

Ada sedikit rasa tidak percaya ketika melihat nama dan fotonya tertera di daftar permintaan pertemananku di Facebook. Sudah lama sekali aku mencarinya pada kolom search di facebook. Bahkan aku sampai membuat ulang facebook dengan nama asli agar bisa dengan mudah tertera pada mesin pencaharian dan berharap dia masih mengingat dan mencari ku.

Sempat down dan putus asa juga dulu. Mengingat sekarang kemajuan teknologi sudah pesat. Sudah zaman i-Pod, Blackberry, dan semacamnya. Tapi, aku belum juga menemukannya di facebook. Pernah sih berpikir mungkin dia menggunakan nama alay atau sejenisnya yang sering di gunakan banyak pengguna facebook. Makanya sampai rela buat facebook dengan nama Sera Wijaya Magali part II dan di tertawakan teman sekampus gara-gara ini.

Masih dengan rasa tidak percaya aku mengulang nama yang tertera dalam daftar permintaan pertemananku, “Yosril Mahendra Saputra”.  -9Aku langsung menkonfirmasi permintaannya. Segera kulihat profil lengkapnya. “huuuh pantesan aja gak pernah ketemu di kolom search. Bergabung di facebooknya saja baru satu minggu. Dan aku adalah teman ke 23 dia.” Guman ku dalam hati sambil terus membolak-balik halaman album dan info di profilnya.

Belum hilang rasa tidak percaya ku, aku dikejutkan lagi dengan chat yang masuk. “Yosril !!” teriakku girang. Dengan antusias aku langsung membuka kolom chat darinya.

“Hei..” tulisnya singkat.
“Hei juga” balasku sambil terus menahan luapan kebahagiaan yang menggebu di hati.
“Ini Sera yang dulu tinggal di Asrama Armed XV bukan ya?” seperti ada keragu-raguan dalam tulisannya kali ini.

Kebahagiaan ku semakin bertambah. Ternyata ini benar Yosril sahabat kecil yang sudah bertahun-tahun berpisah denganku.

“iya benar. Ini Yosril anak Om Wiryo ya?” balasku agak lama sambil menahan emosi biar kelihatan sedikit jaim.
“Iya, bener banget. Senang akhirnya setelah 2 hari nunggu konfirmasi akhirnya ketemu kamu yang asli. J Kamu apa kabar Sera? Gimana kabar Om Tante? Kalian tinggal dimana sekarang?” tulis Yosril bertubi-tubi. Seperti sudah tidak sabar lagi bertanya padaku.
“Yang asli? Maksudnya? Aku baik-baik aja. Papa mama juga gitu. Papa mama sekarang tinggal di Puslatpur (Pusat Latihan Tempur) di Martapura Sumatera Selatan. Kalau aku sekarang kuliah di Lampung. Kamu apa kabar? Betah ya lama menghilang dari aku.” Balasku sedikit bersemangat.

Lama aku menunggu balasan darinya. Sudah hampir 45 menit tapi belum ada tanda-tanda akan di balas. Layar online pun masih tertera pada kolom chatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk offline saja.  Aku tidak mau terlihat terlalu agresif pada obrolan partama ini.

“heeiii.. Disini hujaaaan.” Aku bersorak dalam hati. Seolah ingin memberi tahu pada Yosril bahwa pertemuan kami di dunia maya ini di sambut oleh hujan. Oleh sesuatu yang dari dulu sama-sama kami candu.

Aku belum puas melihat wajahnya di foto yang hanya ada satu di album profilnya. Masih sama seperti dulu. Ada satu garis luka di pipi sebelah kiri akibat terkena pedang-pedangan kayu milik ku yang dulu sering kami mainkan. Yang membedakan adalah munculnya garis kharismatik yang terpancar dari pandangan teduh dan tatapan tegas di matanya. Dia sudah tampak lebih dewasa sekarang. Dan pastinya sudah jauh lebih tinggi dariku.

Aku terkekeh mengingat fisiknya dulu. Mama bilang anak laki-laki memang akan terlihat lebih pendek dari anak perempuan sebelum dia baligh. Dan sudah terbukti sekarang.

Sudah lebih dari satu windu kami tidak bertemu. Semenjak ke pindahan tugas ayahnya ke Padang, kami tidak lagi saling bertukar kabar. Dia seakan menghilang begitu saja dari ku. Awalnya aku sempat di buat kesal dan marah padanya karena tidak menemuiku saat akan pindah. Tapi janji kecil yang sempat dia ucapkan untuk selalu mencariku, mampu mengubur dalam-dalam rasa kesal dan marah ku padanya. Seolah memberi banyak harapan padaku.

“Coba deh kamu lihat hujan di luar itu. Dia itu setia loh.”
“Kok bisa setia?”
“Kata bunda, hujan itu selalu setia pada bumi. Hujan selalu turun kebumi kala bumi sedang merindu.”
“Maksudnya?”
“Itu loh Ser, seperti kata bu Neni guru IPS kita. Jadi hujan itu jatuh pada bulan Oktober sampai Maret. Dimana bumi sedang benar-benar rindu pada hujan karena sudah berbulan-bulan terserang kemarau.”
“oh iya yaa.. Kamu bener Yos, aku sampai gak kepikiran sampai sana.”
“kita kan sama-sama pecandu hujan. Kita gak boleh hanya suka hujan. Tapi kita harus bisa memahami dan mengerti makna hujan yang sebenarnya.”
“wah, kata-katamu berat Yos. Hujan itu seperti punya naluri ya. Dia tahu pada siapa dan kapan ia harus menjatuhkan rindu.
“Bener banget Ser. Suatu saat nanti kalau kita berpisah, aku janji akan mencarimu. Seperti hujan yang mencari kemarau di bumi untuk dibasahi.”

***

Sekarang masih februari. Hujan masih sering datang dengan deras setiap hari untuk menjenguk ku. Memberikan waktu padaku untuk meluapkan kebiasaan mencandu yang terhenti karena kemarau.
                                                                                       
Hujan hari ini hanya datang sebentar. Seolah hanya memberitahu ku bahwa ia masih ada di bulan penghujan yang akan berlalu bulan depan. Sama seperti Yosril. Hilang lagi begitu saja. Entahlah mengapa aku jadi sangat marah padanya. Dia tidak pernah lagi mengabariku sejak chat 6 bulan yang lalu.

“Seraaaa…” Teriak Rena kencang mengagetkan lamunanku.
“Apa-apaan sih lo ini.” Maki ku repleks akibat kaget. Sambil ngerem ngejut.
“Lo sih, dari tadi ngelamun aja. Kan bahaya. Ngelamun tuh sambil tiduran, bukan sambil nyetir.” Balas Rena lebih galak.
“o.. o.. o.. iya iyaa.. Sorry Na. Gue lagi banyak pikiran.” Jawabku merasa bersalah.
“iya gak papa Ser, gue takut aja dari tadi lo ngelamun terus. Lo ada masalah ya?
“gak kok Na, gue gak apa apa.” Aku berusaha menutupi lamunanku.
“lo nanti mampir dulu ya ke rumah gue. Sepupu yang pernah gue ceritain langsung ikut pendidikan SPA AD setelah lulus kuliah lagi di rumah gue. Dia lagi mau nyari temennya disini. Siapa tau lo kenal.” Rena nyerocos sambil antusias menunggu respon ku.
“iya deh. Siapa nama sepupu lo? Lupa gue..”
“horeee..” sorak Rena girang. “Hendra namanya.. Awas ya, nanti naksir lo sama dia. Ganteng loh Ser.” Goda Rena dengan gayanya yang centil.
“ih sorry yaa.. Gue mah masih setia nungguin janji abang Yosril gue itu.” Jawabku tak kalah centil.
“hahahaa….” aku dan Rena tertawa berbarengan.

Sampai di rumah Rena kami langsung di sambut Tante Dian mama nya Rena hangat seperti biasa dan menyuruh kami masuk. Karena sudah sering kesana aku jadi sudah seperti menjadi bagian dalam rumah ini.

“eh Sera, maaf ya Rena ngerepotin kamu lagi.” Kata tante Dian basa basi sambil menyuguhkanku makanan ringan.
“biasa kok tante. Gak apa apa kok.” Jawabku. “masak apa tante? Kata Rena tante masak banyak hari ini.” tanyaku akrab.
“Iya, tante masak banyak hari ini. Kami lagi kedatangan tamu. Sepupunya Rena yang dari Riau. Nanti Sera makan malam disini aja ya. Di rumah kan sendirian juga kamunya.”  Kata tante Dian membujukku.

Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan Tante Dian. Hal yang lumrah bila Tante Dian mamanya Rena baik padaku. Aku dan Rena sudah berteman baik dari awal kuliah, dan aku sudah sering sekali menginap di rumah Rena.

“Ser, kenalin ini Hendra sepupunya Rena yang baru dateng dari Riau.” Ucap tante Dian mengagetkanku yang sedang membantu merapihkan meja makan bersama Rena.

Beberapa saat aku sempat terdiam. Belum hilang kekagetanku tadi sudah bertambah lagi rasa kagetku. Seorang lelaki tampan, gagah dan sepertinya pernah aku kenal berada di depanku sekarang.

“Seraaaa” “Yosriiiill” ucapku bersamaan dengan laki-laki yang di akui Rena sebagai sepupunya.
“Kalian….?” Tante Dian dan Rena memandang kami bengong.
“kamu Yosril kan?” tanya ku pada sepupu Rena masih tidak percaya.
“iya. Kamu Sera kan?” tanya sepupu Rena balik.
“jadi Sera teman yang mau kamu cari jauh-jauh dari Riau, Hen?” tanya tante Dian pada Yosril yang tidak lain adalah sepupu Rena.
“i.. ii.. ya tante. Se.. ee..  ra.. ini anak teman Ayah yang aku ceritakan semalam.” Jawab Yosril terbata-bata.

***