Saya memilih beberapa potong donat dari etalase toko roti mungil ini
dan segera memasukkannya ke kantong plastik. Donat dengan lelehan coklat
diatasnya. Setelah membayar, saya segera menuju ke tempat biasa saya
menghabiskan sore sepulang beraktivitas. Sebuah kedai kopi di sudut
jalan ini. Saya duduk di tempat favorit-dekat jendela Dan saya sedikit
menyesap coklat panas yang tadi saya pesan. Entah kenapa saya selalu
membeli camilan di toko yang berbeda padahal kedai ini juga
menyediakannya? Sudahlah, toh saya tidak mau repot-repot memikirkan itu.
Waktu
seakan berjalan begitu cepat. Sekarang sudah hampir gelap, mungkin
sekitar pukul setengah tujuh. Saya tidak tahu. Sebenarnya saya sendiri
malas untuk melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri saya.
"Hujan..."
saya berguman tanpa sadar ketika melihat bulir-bulir hujan dari langit.
Hanya gerimis, memang. Namun cukup membuat saya kedinginan. Saya
sekarang sedang berdiri di depan kedai ini, menunggu hujan reda. Saya
bisa saja menerobos hujan dan berlari pulang seperti yang dilakukan
orang-orang. Tapi saya malas, saya ingin menikmati waktu ini sebentar
lagi.
Refleks, saya menoleh ke samping ketika telinga saya
mendengar umpatan dari seorang pemuda berseragam SMA. Ia sedang
melontarkan umpatan kepada hujan, seperti,"hujan sialan! bagaimana bisa
pulang kalau begini?"
Dalam hati saya tertawa sekaligus jengkel.
Berhentilah mengomel dan nikmati waktumu.
Memejamkan mata, tanpa sadar saya mengarahkan tangan pada tetes hujan yang semakin menderas. Dingin.
Mungkin
orang-orang yang ikut berteduh merasa heran dengan kelakuan aneh saya.
Saya merasa, ada beberapa pasang mata yang memandang saya. heran.
hampir setengah jam...
Hujan belum juga reda. Berkali-kali saya mendapat pesan di handpone, menanyakan 'kapan pulang?', 'perlu dijemput atau tidak?'
Saya mengetik singkat, 'sebentar lagi, hujannya masih deras. tidak usah dijemput.'
Sempat
terpikir, bagaimana kalau saya membeli segelas coklat panas lagi? toh
sisa donat saya masih ada. Saya ragu, saya enggan meninggalkan tempat
ini meskipun hanya untuk beberapa langkah saja.
Coklat
panas yang ditempatkan dalam wadah plastik kini sudah ada di tangan kiri
saya sedangkan tangan yang satunya lagi memegang donat yang sudah
separuh saya makan.
Saya mulai jenuh, saya pun berjalan ke arah
mini market yang jaraknya tidak begitu jauh, siapa tahu di sana ada
payung yang bisa dibeli.
Handpone di saku celana jeans saya terus
bergetar menandakan ada pesan atau telpon yang masuk. Tidak
menghiraukannya, saya tetap melangkah ke kasir, membayar payung berwarna
biru muda yang saya beli.
Lampu-lampu jalan sudah sejak tadi
dihidupkan. Saya bisa melihat orang-orang tengah berjalan di bawah hujan
seperti saya atau yang berlari sambil merapatkan jaket yang kebetulan
mereka pakai. Menghindari hujan. Sama seperti saya. Tapi saya
menghindari hujan dengan payung ini. Resiko basah karena hujan pun lebih
sedikit.
Ujung celana jeans saya sudah sangat basah terkena
cipratan air hujan bercampur lumpur, sedikit tidak nyaman memang. Tapi
saya tetap berjalan.
***
Rumah....
Saya sudah sampai
di rumah beberapa menit yang lalu. Di sambut dengan
pertanyaan-pertanyaan memojokkan karena pulang begitu malam. Sepertinya
alasan 'hujan' belum cukup bagi mereka.
Segelas cappucino instant
yang saya beli kemarin di mini market cukup untuk menemani saya malam
ini di dalam kamar yang sempit namun nyaman. Kamar adalah zona pribadi
saya, 'rumah' saya.
Gerimis masih terdengar dan saya bisa
mengingat dengan jelas apa yang saya lakukan dari sore tadi hingga
sekarang. Mulai dari memilih donat, membaca novel di kedai kopi
langganan, sampai akhirnya saya berada di kamar ini.
Rainy Afternoon...
Kata-kata
itu tiba-tiba saja terlintas di benak saya. Secepat yang saya bisa,
saya tulis kata-kata itu di selembar kertas, Saya juga tidak mengerti
kenapa?
Hanya 'Rainy Afternoon'.
Martapura, 27 Agustus 2012
sambil mendengarkan, Mesin Penenun Hujan - Frau