LDR Menguras Hati

Senin, 13 Juni 2011



“Bangun Gi, malu cewek jam segini belum bangun”. Bisik bunda ditelinga ku sambil menarik selimut dan berusaha mengganggu tidurku. Ku tarik lagi selimut tebal itu dan kembali ku benamkan kepalaku dan seolah olah tak mendengarkan kata-kata bunda. “ayo sayang, nanti kamu terlambat” bujuknya lagi sambil menyingkapkan selimut ku.

“Gi masih ngantuk nih” ucapku masih dalam selimut. Aku belum siap untuk kepulangan ku hari ini ke kota yang semakin menjauhkan ku dengan bunda tercinta, masakan-masakan istimewa dan penuh cinta, cium hangat ayah, dan pelukan mesra dari Max prajurit hijau ku.

Sreeet… suara seretan pintu tiba-tiba membuatku girang, ahk bunda tahu mungkin kalau anak semata wayangnya ini belum mau berpisah dengannya. Sudah lama aku tak disini, liburan weekend ini justru membuatku tidak mau beranjak dari kota ini. “kesalahan besar” maki ku sendiri menyesali kepulangan kali ini. Harusnya tak ku lewatkan disini, harusnya aku disana, di kota tempat aku mengejar ilmu dan bersama mereka, teman-temanku yang kadang tidak aku mengerti jalan pikirannya, menghabiskan uang kiriman dari orang tua, berfoya-foya, ber haha hihi bebas dan saling mengejek satu sama lain.

“kamu jadi pulang hari ini, Gi?” Tanya laki-lagi gagah yang yang baru saja memarkirkan motornya di garasi rumah sambil menatap ku hangat. “iya..” jawabku singkat. Sebenarnya tak tega meninggalkan Max sendiri lagi. Kami sudah menjalin hubungan hampir 8 tahun, dan selama 4 tahun terakhir kami harus menjalani Long Distance Relationshif (LDR). Max laki-laki setia dan sangat sabar terhadapku. Umurnya yang terpaut 5 tahun dariku membuat dia tampak dewasa dan kerap menjadi sasaran kemanjaanku. Sebagai laki-laki normal, aku tau ia pun sering mengeluh dengan jarak yang selalu menjadi pemisah antara kami. Tapi, dia tidak pernah mengutarakan keinginannya padaku sekalipun. Tidak pernah.

“kamu kapan pulang kesini lagi? Aku masih rindu. Sebenarnya aku mau kenalkan kamu ke teman-temanku besok diacara pernikahan John sahabatku. Dia ingin aku…” Max diam, ia seperti tidak mau melanjutkan kata-katanya.

“maafkan aku Max, kalau saja besok tidak ada ujian akhir semester, aku pasti akan melewati banyak waktu bersamamu. Tapi bukankah kamu bisa mengenalkan aku ke teman-teman mu setelah aku pulang lagi kesini? Aku akan secepatnya pulang setelah studi selesai.” Kataku sambil berusaha menghiburnya.

Ku lihat gurat kekecewaan jelas terpancar di raut wajah tampan itu, tapi dengan segera ditutupinya wajah kecewa itu dengan senyum sambil mengusap-usap lembut rambutku. “tidak usah tergesa-gesa, masih banyak waktu. Teman-teman ku juga pasti mengerti. Lain kali akan ku buatkan janji untuk kita dan teman-temanku, agar mereka bisa mengenalmu.” Ucapnya bijak sambil terus mengelus rambutku. Aku bahkan bisa merasakan kekecewaan yang Max rasakan. Andai saja aku tidak bersikeras menempuh pendidikan di kota itu. Hufh.. menyesal rasanya, tapi ini demi cita-cita ku.

Ku anggukkan kepalaku tanda setuju sembari tersenyum. Ahk, hanya itu yang mampu aku berikan sebagai penghibur kekecewaannya. “ya sudah, kita cari jajanan di luar yuk Max.” Pinta ku sambil sedikit merengek mengalihkan pikirannya. “nyari jajan apa, Gi? Kamu pernah nyobain mie ayam baru yang di pojokan deket Balai Kota, kata orang enak loh.” Ucapnya mulai terpancing ajakanku. “belum, aku kan jarang pulang Max. Kamu memangnya belum pernah nyobain?” tanyaku bersemangat. “malu Gi, pelanggannya perempuan semua.” Katanya sambil tertawa. Senang sekali bisa tertawa lagi seperti ini dengannya. Lama sekali rasanya tidak seperti hari ini.

-------------------------------------------------- - 0 - ----------------------------------------------------

Ku ingat lambaikan tangan sebagai tanda perpisahan, sebelum berpisah ku lihat raut wajah yang selalu sama saat aku beranjak dari kota ini. Max orang yang sangat pengertian dan tidak pernah pandai menyembunyikan perasaannya pada ku. Itu lah Max, ia terlalu jujur bila di depanku. Dan entah, apa aku bisa mendapatkan laki-laki seperti Max lagi bila nanti berpisah dengannya.

Tiga minggu sejak kepulanganku. Aku mulai merasa bosan dengan hubungan jarak jauh ini. Rutinitas ku yang sudah tidak terlalu padat tidak seimbang dengan pekerjaan Max dan itu berpengaruh terhadap kualitas hubunganku dan Max. Seharusnya aku paham, Max seorang prajurit hijau dengan tanda skop kuning di lengannya harus siaga tiap saat. Dan ego ku mulai memuncak tanpa aku sadari.

Sudah puluhan kali nada dering ponsel ku berbunyi tanpa henti, dan itu dari Max. “aku sedang ingin sendiri, Max. Maafkan aku” ku kirim pesan singkat itu kepada Max, aku sengaja tidak berniat bicara dengannya. Akhir-akhir ini pembicaraan kami sering di akhiri dengan pertengkaran, dan itu semua aku yang memulai. Aku tidak ingin Max terlalu tersakiti dengan tingkah dan sikaf ku yang sadang tidak baik ini.

Do you feel, do you feel me?
Do you feel what I feel, too?
Do you need, do you need me?
Do you need me?

Lagu I Love You dari Avril terdengar lagi tapi kali ini dentingan nada sms yang berbunyi. Dengan malas ku ambil handphone yang kuletakkan di atas meja belajarku. “Maafkan aku Gi, aku hanya tidak bisa menahan rindu. Hubungi aku bila mood mu sudah pulih.” Sms dari Max membuatku merenung. Aku kembali teringat kata-kata Bella dan Stela.

Bella bilang tidak semua hubungan jarak jauh itu gagal, dan aku saja yang hampir 4 tahun lebih masih bisa menjalaninya. Tapi Long Distance Relationshif memang menguras hati, dan hampir saja membunuhku.

Entahlah, tidak pernah terbayangkan apa jadinya bila bukan Max pasangan LDR ku, mungkin aku tidak pernah merasa seberhasil ini. Tadi sore, Lea teman kostn ku cerita banyak tentang hubungannya dengan Gary yang selalu bertengkar tiap kali bertemu. Padahal aku kerap mengidolakan mereka sebagai pasangan yang romantis dan bisa selalu saling mengisi lewat pertemuan-pertemuan yang jarang aku dapatkan dengan Max. Lea malah ingin merasakan Long Distance Relationshif seperti ku, dia berpendapat bahwa hubungan jarak jauh justru membuat hubungan menjadi lebih berkualitas karena pertemuan yang memiliki intensitas kecil akan membuat hubungan semakin hangat dan terasa sangat berharga. Hah.. Aku baru sadar, ternyata aku salah. Tidak seharusnya aku seperti ini. “Aku harus meminta maaf pada Max” tegasku dalam hati.

Ku ambil telpon genggam sambil membayangkan wajah Max. Dengan penuh harapan bahwa Max masih mau memaafkan sifat childish ku. “Max…” sapa ku membuka pembicaraan. “Iya, sayang..” jawabnya singkat namun tetap mesra. “maafkan aku ya, tidak seharusnya aku seperti ini. Mestinya aku bersyukur memilikimu” ucapku sambil menangis. “tidak mengapa sayang, aku paham betul sifatmu. Untuk apa kita pacaran selama ini bila tidak saling mengenal.” Jawab Max seperti meyankinkan kalau dia tidak marah padaku. Aku hanya terus diam dan menangis. “ayolah sayang  jangan menangis lagi, cepat selesaikan skripsi dan ujian akhirmu. Aku sudah tidak sabar menantimu disini” rayu Max menenangkan ku dengan gayanya yang sangat manis. “aku akan segera pulang dan secepatnya menyelesaikan studi ku. Tunggu aku sayang.” Jawabku sambil di iringi derai tawa Max yang terus menggodaku.

Malam ini aku merasa sangat bersyukur dan seolah mendapat semangat baru. Terimakasih Tuhan, ternyata Long Distance Relationshif tak mampu membunuhku gumanku sebelum tidur. “Tunggu aku sayang, purnama ketiga aku akan pulang, untuk mu dan untuk orang tua ku, karena aku akan pulang dengan membawa dua ijazah karna aku berhasil menjadi Sarjana Komunikasi dan Sarjana Long Distance Relationshif” sorak ku dalam hati.

Bandar Lampung,
12 Juni 2011

Me on FB              : Pristia Nitee Deeii
Me On Twitter       : @Pristia_KW25