Menatap Diam-diam

Jumat, 09 November 2012



Ku ulangi lagi menatap wajahmu diam-diam. Sekali lagi. Entah sudah yang keberapa kali. Nafas ku sempat beberapa kali pula tersengal, karena berdebar takala kedua bola matamu seperti mencari sesuatu, yang seolah merasa terintai oleh tatapan diam-diam ku. Hampir saja keempat bola mata kita berpadu jadi satu; bertemu, andai dengan rasa sadar aku tidak segera memalingkan pandanganku ke pepohonan tinggi di sampingmu. Seolah sedang mengamati pucuk-pucuk pohon yang ujungnya baru menuai tunas-tunas muda.

Aku tahu, tak kan nyaman bagimu yang terus merasa teramati. Di mata-mata-i. Seperti terus di bayangi oleh sesuatu yang tidak pernah kamu kenali. Tapi aku.. Aku menikmati menjadi pengamat pribadi mu. Ahk.. Aku bahkan lebih pantas di sebut sebagai penguntit dari pada pengamat pribadi. Tapi aku bahagia seperti ini. Memandangaimu dengan diam-diam. Dengan sebuah rasa yang terus menuntun ku kepadamu. Meski berucap jujur kepadamu tak akan terasa mampu keluar dari ujung pangkal lidahku.

Aku tahu semua yang bahkan tidak semua orang tahu tentang kamu dengan detail, bahkan aku bisa pastikan akan menjuarai urutan pertama, jikalau ini diperlombakan. Aku mencatat tiap saat kesukaanmu dalam ingatanku. Aku selalu tahu kamu tidak pernah tidak tepat waktu. Selalu datang ke taman ini setiap akhir pekan. Duduk di bangku yang sama, dan tidak dengan siapa pun.

Pernah suatu hari aku melihatmu tampak bahagia. Bahkan hujan yang aku kira akan membahayakan, malah kamu biarkan menyentuh kulit lembutmu. Kamu basah kuyup. Kamu tertawa. Kamu berputar-putar menikmatinya. Seperti sedang bersyukur dengan apa yang sedang Ia jatuhkan ke bumi ku, pun bumi mu.

Sekarang sudah masuk musim penghujan lagi. Dan aku masih setia menantimu. Menunggu kamu tersenyum sambil bersenandung riang di bawah pepohonan tempat ku tinggal. Hujan seperti memisahkan kebiasaan mu dengan ku. Hujan membuatku tidak bisa melulu mengamatimu. Karena kamu mencari teduh di bawah atap rumah mu. Karena aku di sarangku. Karena aku menunggumu. Dan, karena aku hanya seekor burung taman yang setia mengintaimu. Dan, karena aku mencintaimu. 



Taman Kota,

Yang selalu menunggumu, Burung Gereja.

New Aqueensya

Selasa, 04 September 2012
Yeeeey.. Alhamdulilaaah logo baru nya udaaah jadiii.. Sekarang udah sah deeeeh pake nama "Aqueensya Shop".. :))

Ini ni looogoooonyaaa.. :) (hasil ngehayal semalaman) hehee

  

Dan setelah nempel di foto jadinya giniii..



hheheee.. di tampilin ukuran besar biar jelas ngeliatnya.. Narsis dikit lah.. hihii.. :)

Dah ahk, cuma mau pamer ajah rencananya tadii.. wkwkw.. Belum sempet ada waktu banyak buat ngeblog beneran.. :)

Aqueensya Doll

Jumat, 31 Agustus 2012
Minggu ini melelahkan sekali. Kegiatan yang tadinya enjoy di lakukan, sekarang malah balik menyudutkan. :'( Banyak pesanan handycraft ku yang keteteran. Ternyata memboyong kerjaan untuk ikut berlibur adalah masalah besar. Selain bahan yang sulit di temukan, fasilitas juga kurang memadai. Ruang kerja, jam istirahat, dan tempat untuk rehat minim sekali ku nikmati. :(

Aku memang banyak mengeluh akhir-akhir ini..

Tapi dengan sisa bahan yang seadanya aku masih bisa buat satu pesanan..

Sebetulnya bukan minim bahan. Minim dakron lebih tepatnya. Disini tidak ada satu toko pun yang menjual dakron. Benar-benar menjadi langka. huuufh..

Untungkah, di kantong ajaib ku masih tersisa beberapa gram dakron.. dan sim salabim.. jadilaaaah..

tedooong..






Tinggi bonekanya 15cm.. :) yeeeey.. Jadi deeeeeh.. Sayangnya boneka couplenya belum jadi karnaaa.. masalah dakron tadi.. 2

tik ... tik ... tik ... Bunyi Hujan

Senin, 27 Agustus 2012


tik ... tik ... tik ... bunyi hujan
di atas genting

aku selalu menyukai hujan. 
pun yang turun senja ini. 
meski dengan kehadiranmu dalam gusar yang tak bisa kuterka. 
namun aku hanya berharap semua baik.


airnya turun 
tidak terkira

seperti kalimat yang mengalir keluar dari mulutmu.
tak terterka, tak terkira. 
menyudahi semua yang terlalui dalam hitungan tahun.
membuatku diam beberapa jenak. 


cobalah tengok
dahan dan ranting

andai hati yang di dalam sini pun bisa kutengok. 
masih sama kah? masih berbentuk kah? atau sudah menjelma keping?


pohon dan kebun
basah semua

kedua pipiku pun... 
ditingkahi air yang jatuh dari mata...


Hujan di Senja



Saya memilih beberapa potong donat dari etalase toko roti mungil ini dan segera memasukkannya ke kantong plastik. Donat dengan lelehan coklat diatasnya. Setelah membayar, saya segera menuju ke tempat biasa saya menghabiskan sore sepulang beraktivitas. Sebuah kedai kopi di sudut jalan ini. Saya duduk di tempat favorit-dekat jendela  Dan saya sedikit menyesap coklat panas yang tadi saya pesan. Entah kenapa saya selalu membeli camilan di toko yang berbeda padahal kedai ini juga menyediakannya? Sudahlah, toh saya tidak mau repot-repot memikirkan itu.

Waktu seakan berjalan begitu cepat. Sekarang sudah hampir gelap, mungkin sekitar pukul setengah tujuh. Saya tidak tahu. Sebenarnya saya sendiri malas untuk melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri saya.

"Hujan..." saya berguman tanpa sadar ketika melihat bulir-bulir hujan dari langit. Hanya gerimis, memang. Namun cukup membuat saya kedinginan. Saya sekarang sedang berdiri di depan kedai ini, menunggu hujan reda. Saya bisa saja menerobos hujan dan berlari pulang seperti yang dilakukan orang-orang. Tapi saya malas, saya ingin menikmati waktu ini sebentar lagi.

Refleks, saya menoleh ke samping ketika telinga saya mendengar umpatan dari seorang pemuda berseragam SMA. Ia sedang melontarkan umpatan kepada hujan, seperti,"hujan sialan! bagaimana bisa pulang kalau begini?"

Dalam hati saya tertawa sekaligus jengkel.
Berhentilah mengomel dan nikmati waktumu.

Memejamkan mata, tanpa sadar saya mengarahkan tangan pada tetes hujan yang semakin menderas. Dingin.
Mungkin orang-orang yang ikut berteduh merasa heran dengan kelakuan aneh saya. Saya merasa, ada beberapa pasang mata yang memandang saya. heran.

hampir setengah jam...

Hujan belum juga reda. Berkali-kali saya mendapat pesan di handpone, menanyakan 'kapan pulang?', 'perlu dijemput atau tidak?'

Saya mengetik singkat, 'sebentar lagi, hujannya masih deras. tidak usah dijemput.'

Sempat terpikir, bagaimana kalau saya membeli segelas coklat panas lagi? toh sisa donat saya masih ada. Saya ragu, saya enggan meninggalkan tempat ini meskipun hanya untuk beberapa langkah saja.

Coklat panas yang ditempatkan dalam wadah plastik kini sudah ada di tangan kiri saya sedangkan tangan yang satunya lagi memegang donat yang sudah separuh saya makan.

Saya mulai jenuh, saya pun  berjalan ke arah mini market yang jaraknya tidak begitu jauh, siapa tahu di sana ada payung yang bisa dibeli.

Handpone di saku celana jeans saya terus bergetar menandakan ada pesan atau telpon yang masuk. Tidak menghiraukannya, saya tetap melangkah ke kasir, membayar payung berwarna biru muda yang saya beli.
Lampu-lampu jalan sudah sejak tadi dihidupkan. Saya bisa melihat orang-orang tengah berjalan di bawah hujan seperti saya atau yang berlari sambil merapatkan jaket yang kebetulan mereka pakai. Menghindari hujan. Sama seperti saya. Tapi saya menghindari hujan dengan payung ini. Resiko basah karena hujan pun lebih sedikit.

Ujung celana jeans saya sudah sangat basah terkena cipratan air hujan bercampur lumpur, sedikit tidak nyaman memang. Tapi saya tetap berjalan.

***

Rumah....
Saya sudah sampai di rumah beberapa menit yang lalu. Di sambut dengan pertanyaan-pertanyaan memojokkan karena pulang begitu malam. Sepertinya alasan 'hujan'  belum cukup bagi mereka.

Segelas cappucino instant yang saya beli kemarin di mini market cukup untuk menemani saya malam ini di dalam kamar yang sempit namun nyaman. Kamar adalah zona pribadi saya, 'rumah' saya.

Gerimis masih terdengar dan saya bisa mengingat dengan jelas apa yang saya lakukan dari sore tadi hingga sekarang. Mulai dari memilih donat, membaca novel di kedai kopi langganan, sampai akhirnya saya berada di kamar ini.

Rainy Afternoon...

Kata-kata itu tiba-tiba saja terlintas di benak saya. Secepat yang saya bisa, saya tulis kata-kata itu di selembar kertas, Saya juga tidak mengerti kenapa?

Hanya 'Rainy Afternoon'.


Martapura, 27 Agustus 2012
sambil mendengarkan, Mesin Penenun Hujan - Frau

Move On

Selasa, 07 Agustus 2012


Aku benci perubahan.

Aku tidak suka dengan sebuah perubahan, dari segi manapun. Perubahan membuat kita melupakan akan kenangan-kenangan masa lalu. Perubahan membuat semuanya menjadi samar. Perubahan mengharuskan kita untuk tetap bergerak maju, menerima hal-hal baru yang kita sukai maupun tidak.

Saat kita sudah merasa sangat nyaman, tiba-tiba perubahan menghancurkan segalanya. Mengharuskan kita untuk berpindah. Mengharuskan kita untuk mengawali semuanya dengan baru. Mengharuskan kita untuk menikmati sesuati yang baru walau kita tidak menyukainya.

Ada kalanya disaat kita mengingat setiap detil hal-hal indah di masa lalu, sebelum perubahan menghancurkannya. Kita ingin kembali, mengulang masa-masa indah itu kembali. Sangat ingin. Tetapi, kita bisa apa? Apa mungkin kita memutar waktu, mengulangi segalanya? Tidak, tidak mungkin. Ironis, bukan? Tetapi, itulah hidup. Hidup tidak bertanya kepada kita apakan kita siap dengan perubahan atau tidak. Apa yang memang seharusnya terjadi, hanya terjadi begitu saja. Tidak ada yang perlu berdebat. Semuanya terjadi secara natural.

So, just keep moving.

Tetesan Air Dari Syurga

Selasa, 17 Juli 2012

Senja baru saja kembali ke ujung langit. Burung bul-bul yang biasanya terbang berbarengan membentuk huruf V dilangit, kini  sudah kembali ke sarangnya. Sudah lebih sepi sekarang. Langitnya kosong. Hanya ada awan abu yang mulai menghitam, dan tetes air dari syurga yang baru mulai berguguran.

Beberapa anak kecil yang tadinya masih asik bermain langsung berhamburan masuk kesebuah mushola kecil yang berada persis tepat beberapa meter dari depan jendela kamarku, ketika suara adzan magrib berkumandang dahsyat menggetarkan hati. Sungguh pemandangan yang paling sering ku nikmati sambil duduk menunggu mama sholat magrib di kamarku. Apalagi bila di iringi tetesan embun yang mama sebut dari syurga itu berjatuhan. Aku seperti sedang tidak sendirian.

“Kamu mau makan sekarang, Dear?” suara lembut itu mengagetkan lamunanku. Suara itu milik mama ku. Seorang wanita dewasa dengan umur kepala empat yang dengan sangat sabar selalu berada di sampingku.

Aku tidak mengiyakan dengan mengangguk atau menggeleng sebagai tanda menolak pertanyaannya. Tapi, seolah mengerti, Beliau lantas tersenyum lalu berlalu meninggalkan kamarku.

Memori di kepalaku seperti menggeliat lagi. Memaksaku memikirkannya. Seorang gadis cantik berumur 18 tahun sedang berada dalam otakku. Ia tampak ceria. Matanya berbinar-binar, dan senyumnya mengembang lebar. Seperti sedang menyambut sesuatu yang sedang membuatnya bahagia.

Sampai disitu aku sudah benar-benar tidak bisa lagi membayangkannya. Aku sudah beberapa kali mencoba mengingat gambaran demi gambaran yang menggeliat terus di kepalaku. Tapi setiap hendak melakukannya, rasa sakit yang amat sangat bertubi-tubi seperti niat sekali menusuk kepala ku.

“Waktunya makan, Dear.” Suara lembut itu seperti tiba-tiba menjadi pengahapus rasa sakit di kepalaku. “Mama masak cumi garang asam kesukaanmu loh. Kamu harus coba ya, enak banget loh.” Sambil tersenyum mama memamerkan makasannya padaku.

Aku sudah berusaha menelan beberapa sendok masakan mama dengan susah payah hari ini. Aku sedang tidak ingin melihat mama menangis meski dibelakangku. “Aku benar-benar sedang berusaha, ya Allah.” Isakku dalam hati. Senyum mama mengembang tepat saat aku memasukkan sesendok nasi terakhir kedalam mulutku. Sepertinya ada gurat puas terpancar dari senyum itu.

“Mama mau merapihkan meja makan dulu ya, Sayang. Sebentar lagi pacar kamu datang. Mama malu kalau rumah kita kelihatan begitu berantakan.” Ucap mama sambil mengelus rambutku seraya beranjak pergi sambil terus tersenyum kepadaku.

“Pacar? Pacar siapa? Apakah aku sudah diperbolehkan pacaran dengan mama? Seingatku belum. Tapi siapa?” Kepalaku terus berusaha berpikir. Mencari jawaban untuk semua yang masih buram di mataku.

“Ma….. Mamaaaaaa….” Aku menjerit memanggil seseorang yang terus merawatku dengan sabar. Tidak ada jawaban. Aku memang kerap melakukan hal ini. Entah sejak kapan aku lupa. Tapi pastinya sejak aku merasa suaraku semakin sulit di dengar. Bahkan oleh telingaku sendiri.

“kreeek..” suara pintu kamarku di buka oleh seseorang.

Mataku masih mengerjap-ngerjap bingung. “Siapa dia? Kenapa ada orang lain disini? Kemana mama? Kenapa mama memperbolehkan orang lain masuk ke kamarku?” bertubi-tubi pertanyaan seolah semakin membuncah di pikiranku. Diikuti perasaan takut yang melanda.

“Sayang, bagaimana keadaan mu hari ini? Maaf aku baru bisa kemari hari ini. Seminggu kemarin aku harus ke Bogor menemani boss ku.” Suara yang sangat nyaman itu tiba-tiba membuat pikiranku kembali berpikir positif.

“Kamu sehat kan, Dear? Aku sempat ragu ketika hendak meninggalkanmu waktu itu. Tapi mama mu memaksaku pergi. Maafkan aku, Sayang.” Pria tampan itu terus berbicara tanpa jeda. Tanpa menunggu jawaban dan reaksiku.

“Hari ini, seperti janjiku seminggu yang lalu, aku akan menamani mu seharian. Dan kau pun harus bersedia menerima janjiku ya.” Entah siapa namanya. Yang pasti aku begitu menyukainya sejak pertama ia masuk ke kamarku tanpa permisi. Beberapa menit yang lalu.

Tiba-tiba tetesan embun dari syurga berguguran. Merubah aroma rumput menjadi aroma tanah kesukaanku. Wangi sekali. Aku benar-benar sedang menikmatinya.

Belum lagi habis hayalanku tentang tetesan-tetesan embun dari syurga, tiba-tiba saja pria tampan itu menggendong tubuhku. Ia barjalan sangat cepat. Ia membuatku berada di pelukannya sekarang. Ia mambawaku. Aku sempat melihat mama sebelum pria itu membawaku ke teras, tapi mama diam saja. Mama malah tersenyum melihat kelakuan pria tampan itu.

“Main hujannya jangan kelamaan ya, Ro. Tante takut nanti Deara masuk angin.” Mama seolah memberi izin pada pria tampan yang disebutnya dengan Ro mengajakku bermain di bawah tetesan embun dari syurga ini.

“Ro..” aku mencoba melafalkan nama pria tampan itu. Sudah sekali. Berkali-kali. Sampai aku seperti lelah mengucapkannya.

“Lihat itu Dear, kau mau mandi hujan? Deras sekali hujannya.” Pria tampan itu menatap lekat mataku. Ia seperti sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya padaku barusan. Sorot matanya berkaca-kaca. Ia sudah berusaha menghapus butiran-butiran air yang keluar begitu saja dari matanya. Tapi tetap saja aku bisa melihatnya. Hingga akhirnya ia berlari sendiri kearah hujan di halaman.

Pria tampan itu tampak bahagia. Ia berputar-putar beberapa kali sambil berkali-kali meneriakkan namaku. “Dearaaaaaaa……” teriaknya. Aku melihat binar kebahagiaan menghujam lelaki itu. Mata yang tadi berkaca-kaca seperti hilang begitu saja. Sekarang malah sudah berganti gembira. Hujan seolah menjadi menghapus kepedihan dan penutup tangis paling sempurna.

“Ro…” aku masih mencoba mengatakan nama pria itu. “Ro…” ku ulangi lagi. Kali ini aku benar-benar merasa yakin, telingaku sudah bisa lagi mendengar suaraku. “Ro…” ulangku lagi meyakini. Tiba-tiba aku seperti diselimuti kebahagiaan yang telah lama aku tinggalkan.

Pria tampan itu seperti mengetahui gempita suka ku. Ia mendekati tubuhku masih dengan pakaian yang basah. “Iya sayang. Coba kau ulang. Ro… Aro…” ia sangat bersemangat menatap ku. Aku dan dia sempat saling beradu tatap beberapa saat. Pandangannya membuat aku bersemangat.

“Roo… Arr… oo…” ucapku perlahan. Aku merasa bahagia bukan kepalang. Aku merasa seperti telah di berkahi sesuatu. Telingaku telah berfungsi. Ahk entahlah, aku tidak tahu indera mana yang sebenarnya tidak berfungsi selama ini. Pikiranku buntu. Yang ada hanya kebuncahan bahagia yang sedang melanda.

“Tanteeeee… Tanteeeee…” Aro berteriak memanggil mama. Matanya terus memandangi mengawasi ku sambil duduk setengah berjongkok di depanku.

Seperti kehilangan kesabaran menunggu mama yang tidak kunjung datang, pria tampan itu dengan sigap langsung menggendong tubuhku. “Kau mau merayakannya, Dear?” ia mengajakku berbicara lagi. Belum lagi aku sempat merespon, pria itu lantas membawaku bermandi hujan. Tapi entah mengapa, air hujan yang aku sempat kira akan membalut tubuhku hingga menggigil malah terasa hangat. Entahlah, mungkin karena aku bermandi hujan dalam peluknya atau karena sang Pencipta hujan sedang lupa menutup kran air panas hingga bercampur dengan dinginnya air hujan yang sebenarnya. Entahlah, aku sedang tidak ingin membahasnya. Aku tengah bahagia, hanya itu yang ingin ku genggam saat ini.

... bersambung

Berhijablah !!

Sabtu, 09 Juni 2012
Beberapa perdebatan yang Saya alami..!!


1. Saya gag mau kerudungan! Kerudungan itu kuno | "lha, itu zaman flinstones lebih kuno lagi, gag pake kerudung".


2. Tapi kan itu kan hal kecil, kenapa kerudungan harus dipermasalahin?! | "yang besar-besar itu semuaawalnya kecil yang diremehkan"


3. Yang penting kan hatinya baik, bukan lihat dari kerudungnya, fisiknya! | "trus ngapain salonan tiap minggu? make-upan? itu kan fisik?"


4. Kerudungan belum tentu baik! | "betul, yang kerudungan ajah belum tentu baik, apalagi yang...(isisendiri)"


5. Saya kemarin liat ada yang kerudungan nyuri! | "sowhat? Yang gag kerudungan juga banyak yang nyuri, gak korelasi kali"


6. Artinya lebih baik kerudungin hati dulu, buat hatibaik! | "yup, ciri hati yang baik adalah kerudungin kepala dan tutup aurat"


7. Kalo kerudungan masih maksiat gimana? Dosakan? | "kalo nggak kerudungan dan maksiat dosanya malah 2"


8. Kerudungan itu buat aku nggak bebas! | "oh,berarti lipstick, sanggul, dan ke salon itu membebaskan ya?"


9. Aku nggak mau dibilang fanatik dan ekstrimis! | "nah, sekarang kau sudah fanatik pada sekuler dan ekstrim dalam membantah Allah"


10. Kalo aku pake kerudung, nggak ada yang mausama aku!? | "banyak yang kerudungan dan mereka nikah kok"


11. Kalo calon suamiku gak suka gimana? | "berarti dia tak layak, bila di depanmu dia tak taat Allah, siapa menjamin dibelakangmu dia jujur?"


12. Susah cari kerja kalo pake kerudung! | "lalu membantah perintah Allah demi kerja? Emang yangkasi rizki siapa sih? Bos atau Allah?"


13. Kenapa sih agama cuma diliat dari kerudung dan jilbab? | "sama aja kayak sekulerisme melihat wanita hanya dari paras dan lekuk tubuh"


14. Aku nggak mau diperbudak pakaian arab! | "ini simbol ketaatan pada Allah, justru orang arab dulu gak pake kerudung dan jilbab"


15. Kerudung jilbab cuma akal-akalan lelaki menindas wanita | "perasaan yang ada-in miss universe laki-laki deh, yang larang jilbab di prancis jg laki-laki"


16. Aku gag mau dikendalikan orang tentang apa yg harus aku pake! | "sayangnya sudah begitu, tv,majalah, sinetron, kendalikan fashionmu"


17. Kerudung kan bikin panas, pusing, ketombean |"jutaan orang pake kerudung, gag ada keluhan begitu, mitos aja"


18. Apa nanti kata orang kalo aku pake jilbab?! |"katanya tadi jadi diri sendiri, gag peduli kataorang laen..."


19. Kerudung dan jilbab kan nggak gaul?! | "lha mbakini mau gaul atau mau menaati Allah?"


20. Aku belum pengalaman pake jilbab! | "pake jilbab itu kayak nikah, pengalaman tidak diperlukan, keyakinan akan nyusul"


21. Aku belum siap pake kerudung | "kematian juga nggak akan tanya kamu siap atau belum dear"


22. Mamaku bilang jangan terlalu fanatik! | "bilang kemama dengan lembut, bahwa cintamu padanya dengan menaati Allah penciptanya"


23. Aku kan gag bebas kemana-mana, gak bisa nongkrong, clubbing, gosip, kan malu sama baju! |"bukankah itu perubahan baik?"


24. Itu kan nggak wajib dalam Islam!? | "kalo nggak wajib, ngapain Rasul perintahin semua wanita Muslim nutup aurat?"


25. Kasih aku waktu supaya aku yakin kerudungan dulu | "yakin itu akan diberikan Allah kalo kita sudah mau mendekat, yakin deh"


Masih gak mau pake jilbab? Mau pake alasan apalagi?

:D

Mencandu Hujan

Jumat, 02 Maret 2012




Teras rumah ku masih terasa sangat lembab dipermukaan telapak kaki ketika dengan sengaja aku menginjaknya. Hujan memang sudah dari tadi reda. Menyisahkan aroma wewangian tanah yang sangat khas dan selalu mampu menarikku keluar rumah untuk menghirupnya.

Aku kecanduan. Ah.. hanya kata dengan konotasi negatif itu yang terasa pas aku sematkan pada kebiasaan aneh ini. Dan bukan hanya pada aroma wewangiannya tanah setelah hujan saja kecanduan aneh ku ini berhenti. Dari kecil dengan diam-diam dan tanpa sepengetahuan siapapun kecuali Yosril, aku sudah mencandu hujan. Menjadi penikmat setia hujan. Yosril lah yang pertama kali tahu bahwa aku seorang pecandu tanpa aku beri tahu. Dan berkat kebiasaan mencandu itu akhirnya kami bisa bersahabat dan sama-sama sering mencandu.

***


“Jadi semua sudah jelas ya dengan penjelasan saya tentang Zona Ring Of Fire dan ujung lempeng samudera tadi. Minggu depan tugas paper Geomorfologi sudah harus dikumpulkan.”

Suara Pak Gede dosen galak yang sedikit genit itu disambut ramai oleh anak-anak. Ini kuliah sore terakhirku minggu ini.

Meskipun kuliah sudah selesai, tapi masih banyak teman-temanku yang bertahan di dalam ruangan, mengingat di luar sedang turun hujan deras. Hanya ada beberapa temanku yang sudah pulang karena kebetulan membawa payung atau senang berada diluar menikmati dinginnya hujan. Sedang aku, kali ini aku lebih memilih memandang hujan dari balik jendela kelas sembari menghirup aroma wewangian tanah yang berhembus lalui fentilasi udara.

“Hei.. Ngelamun aja lo, Ser!” Sergap Rena dari belakang mengagetkanku.
Aku yang masih kaget hanya membalas senyum.
“Lo belum pulang?” tanya Rena lagi.
“Belum Na. Masih nikmat nih. Sayang kalo di tinggalin.” Jawabku tanpa menoleh.
“Kebiasaan ya lo, Ser. Tahan kenyang makan hujan dari pada makan nasi.” Gumannya pelan sambil ikut memandang ke luar jendela.
“Lo belum tahu sih gimana enaknya mencandu.” Balasku tidak mau kalah.
“Udah ah, ayolah pulang. Gue dah ditungguin nyokab nih dirumah. Sepupu gue baru dateng dari Riau” Bujuk Rena sambil menarik-narik pelan kemeja biruku.
“Lo pulang duluan aja ya Na. Gue masih mau disini. Lagian temen-temen juga belum banyak yang pulang.”
“Tapikan gue pulangnya nebeng lo, Ser. Tega ya lo biarin cewek manis kaya gue pulang sendirian hujan-hujan gini.” Rengek Rena lagi sambil memperbaiki dandanannya.

Aku tertawa geli melihat kelakuannya. Sahabat ku satu ini memang centil banget. Wajar kalau banyak temen cowok di kampus yang berani mati-matian mengejar cintanya. Tubuhnya semampai, wajahnya cantik, dan manja. Sayangnya dia berkali-kali cerita kalau dia belum mau pacaran setelah patah hati yang terakhir sekitar 2 tahun yang lalu. Belum bisa move on alasanya. Ah.. alasan klise sebetulnya.

“Oke gue anterin. Tapi traktir gue Soup Janda yaa.” Nego ku sambil menarik tangannya keluar.

Sebenarnya sayang meninggalkan hujan dan wewangian tanah yang sedang meluapkan rindu padaku ini. Tapi rasa ibaku pada Rena muncul ketika melihatnya pura-pura memelas. Aku kasihan juga akhirnya. Dari dua hari yang lalu dia terpaksa naik angkot ke kampus karena mobilnya masuk bengkel. Dan aku jadi sopir pribadi dadakannya. Huufh (benerin poni).. hihi..


***

            “Yosril Mahendra Saputra !!” lafal ku sambil sedikit teriak.

Ada sedikit rasa tidak percaya ketika melihat nama dan fotonya tertera di daftar permintaan pertemananku di Facebook. Sudah lama sekali aku mencarinya pada kolom search di facebook. Bahkan aku sampai membuat ulang facebook dengan nama asli agar bisa dengan mudah tertera pada mesin pencaharian dan berharap dia masih mengingat dan mencari ku.

Sempat down dan putus asa juga dulu. Mengingat sekarang kemajuan teknologi sudah pesat. Sudah zaman i-Pod, Blackberry, dan semacamnya. Tapi, aku belum juga menemukannya di facebook. Pernah sih berpikir mungkin dia menggunakan nama alay atau sejenisnya yang sering di gunakan banyak pengguna facebook. Makanya sampai rela buat facebook dengan nama Sera Wijaya Magali part II dan di tertawakan teman sekampus gara-gara ini.

Masih dengan rasa tidak percaya aku mengulang nama yang tertera dalam daftar permintaan pertemananku, “Yosril Mahendra Saputra”.  -9Aku langsung menkonfirmasi permintaannya. Segera kulihat profil lengkapnya. “huuuh pantesan aja gak pernah ketemu di kolom search. Bergabung di facebooknya saja baru satu minggu. Dan aku adalah teman ke 23 dia.” Guman ku dalam hati sambil terus membolak-balik halaman album dan info di profilnya.

Belum hilang rasa tidak percaya ku, aku dikejutkan lagi dengan chat yang masuk. “Yosril !!” teriakku girang. Dengan antusias aku langsung membuka kolom chat darinya.

“Hei..” tulisnya singkat.
“Hei juga” balasku sambil terus menahan luapan kebahagiaan yang menggebu di hati.
“Ini Sera yang dulu tinggal di Asrama Armed XV bukan ya?” seperti ada keragu-raguan dalam tulisannya kali ini.

Kebahagiaan ku semakin bertambah. Ternyata ini benar Yosril sahabat kecil yang sudah bertahun-tahun berpisah denganku.

“iya benar. Ini Yosril anak Om Wiryo ya?” balasku agak lama sambil menahan emosi biar kelihatan sedikit jaim.
“Iya, bener banget. Senang akhirnya setelah 2 hari nunggu konfirmasi akhirnya ketemu kamu yang asli. J Kamu apa kabar Sera? Gimana kabar Om Tante? Kalian tinggal dimana sekarang?” tulis Yosril bertubi-tubi. Seperti sudah tidak sabar lagi bertanya padaku.
“Yang asli? Maksudnya? Aku baik-baik aja. Papa mama juga gitu. Papa mama sekarang tinggal di Puslatpur (Pusat Latihan Tempur) di Martapura Sumatera Selatan. Kalau aku sekarang kuliah di Lampung. Kamu apa kabar? Betah ya lama menghilang dari aku.” Balasku sedikit bersemangat.

Lama aku menunggu balasan darinya. Sudah hampir 45 menit tapi belum ada tanda-tanda akan di balas. Layar online pun masih tertera pada kolom chatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk offline saja.  Aku tidak mau terlihat terlalu agresif pada obrolan partama ini.

“heeiii.. Disini hujaaaan.” Aku bersorak dalam hati. Seolah ingin memberi tahu pada Yosril bahwa pertemuan kami di dunia maya ini di sambut oleh hujan. Oleh sesuatu yang dari dulu sama-sama kami candu.

Aku belum puas melihat wajahnya di foto yang hanya ada satu di album profilnya. Masih sama seperti dulu. Ada satu garis luka di pipi sebelah kiri akibat terkena pedang-pedangan kayu milik ku yang dulu sering kami mainkan. Yang membedakan adalah munculnya garis kharismatik yang terpancar dari pandangan teduh dan tatapan tegas di matanya. Dia sudah tampak lebih dewasa sekarang. Dan pastinya sudah jauh lebih tinggi dariku.

Aku terkekeh mengingat fisiknya dulu. Mama bilang anak laki-laki memang akan terlihat lebih pendek dari anak perempuan sebelum dia baligh. Dan sudah terbukti sekarang.

Sudah lebih dari satu windu kami tidak bertemu. Semenjak ke pindahan tugas ayahnya ke Padang, kami tidak lagi saling bertukar kabar. Dia seakan menghilang begitu saja dari ku. Awalnya aku sempat di buat kesal dan marah padanya karena tidak menemuiku saat akan pindah. Tapi janji kecil yang sempat dia ucapkan untuk selalu mencariku, mampu mengubur dalam-dalam rasa kesal dan marah ku padanya. Seolah memberi banyak harapan padaku.

“Coba deh kamu lihat hujan di luar itu. Dia itu setia loh.”
“Kok bisa setia?”
“Kata bunda, hujan itu selalu setia pada bumi. Hujan selalu turun kebumi kala bumi sedang merindu.”
“Maksudnya?”
“Itu loh Ser, seperti kata bu Neni guru IPS kita. Jadi hujan itu jatuh pada bulan Oktober sampai Maret. Dimana bumi sedang benar-benar rindu pada hujan karena sudah berbulan-bulan terserang kemarau.”
“oh iya yaa.. Kamu bener Yos, aku sampai gak kepikiran sampai sana.”
“kita kan sama-sama pecandu hujan. Kita gak boleh hanya suka hujan. Tapi kita harus bisa memahami dan mengerti makna hujan yang sebenarnya.”
“wah, kata-katamu berat Yos. Hujan itu seperti punya naluri ya. Dia tahu pada siapa dan kapan ia harus menjatuhkan rindu.
“Bener banget Ser. Suatu saat nanti kalau kita berpisah, aku janji akan mencarimu. Seperti hujan yang mencari kemarau di bumi untuk dibasahi.”

***

Sekarang masih februari. Hujan masih sering datang dengan deras setiap hari untuk menjenguk ku. Memberikan waktu padaku untuk meluapkan kebiasaan mencandu yang terhenti karena kemarau.
                                                                                       
Hujan hari ini hanya datang sebentar. Seolah hanya memberitahu ku bahwa ia masih ada di bulan penghujan yang akan berlalu bulan depan. Sama seperti Yosril. Hilang lagi begitu saja. Entahlah mengapa aku jadi sangat marah padanya. Dia tidak pernah lagi mengabariku sejak chat 6 bulan yang lalu.

“Seraaaa…” Teriak Rena kencang mengagetkan lamunanku.
“Apa-apaan sih lo ini.” Maki ku repleks akibat kaget. Sambil ngerem ngejut.
“Lo sih, dari tadi ngelamun aja. Kan bahaya. Ngelamun tuh sambil tiduran, bukan sambil nyetir.” Balas Rena lebih galak.
“o.. o.. o.. iya iyaa.. Sorry Na. Gue lagi banyak pikiran.” Jawabku merasa bersalah.
“iya gak papa Ser, gue takut aja dari tadi lo ngelamun terus. Lo ada masalah ya?
“gak kok Na, gue gak apa apa.” Aku berusaha menutupi lamunanku.
“lo nanti mampir dulu ya ke rumah gue. Sepupu yang pernah gue ceritain langsung ikut pendidikan SPA AD setelah lulus kuliah lagi di rumah gue. Dia lagi mau nyari temennya disini. Siapa tau lo kenal.” Rena nyerocos sambil antusias menunggu respon ku.
“iya deh. Siapa nama sepupu lo? Lupa gue..”
“horeee..” sorak Rena girang. “Hendra namanya.. Awas ya, nanti naksir lo sama dia. Ganteng loh Ser.” Goda Rena dengan gayanya yang centil.
“ih sorry yaa.. Gue mah masih setia nungguin janji abang Yosril gue itu.” Jawabku tak kalah centil.
“hahahaa….” aku dan Rena tertawa berbarengan.

Sampai di rumah Rena kami langsung di sambut Tante Dian mama nya Rena hangat seperti biasa dan menyuruh kami masuk. Karena sudah sering kesana aku jadi sudah seperti menjadi bagian dalam rumah ini.

“eh Sera, maaf ya Rena ngerepotin kamu lagi.” Kata tante Dian basa basi sambil menyuguhkanku makanan ringan.
“biasa kok tante. Gak apa apa kok.” Jawabku. “masak apa tante? Kata Rena tante masak banyak hari ini.” tanyaku akrab.
“Iya, tante masak banyak hari ini. Kami lagi kedatangan tamu. Sepupunya Rena yang dari Riau. Nanti Sera makan malam disini aja ya. Di rumah kan sendirian juga kamunya.”  Kata tante Dian membujukku.

Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan Tante Dian. Hal yang lumrah bila Tante Dian mamanya Rena baik padaku. Aku dan Rena sudah berteman baik dari awal kuliah, dan aku sudah sering sekali menginap di rumah Rena.

“Ser, kenalin ini Hendra sepupunya Rena yang baru dateng dari Riau.” Ucap tante Dian mengagetkanku yang sedang membantu merapihkan meja makan bersama Rena.

Beberapa saat aku sempat terdiam. Belum hilang kekagetanku tadi sudah bertambah lagi rasa kagetku. Seorang lelaki tampan, gagah dan sepertinya pernah aku kenal berada di depanku sekarang.

“Seraaaa” “Yosriiiill” ucapku bersamaan dengan laki-laki yang di akui Rena sebagai sepupunya.
“Kalian….?” Tante Dian dan Rena memandang kami bengong.
“kamu Yosril kan?” tanya ku pada sepupu Rena masih tidak percaya.
“iya. Kamu Sera kan?” tanya sepupu Rena balik.
“jadi Sera teman yang mau kamu cari jauh-jauh dari Riau, Hen?” tanya tante Dian pada Yosril yang tidak lain adalah sepupu Rena.
“i.. ii.. ya tante. Se.. ee..  ra.. ini anak teman Ayah yang aku ceritakan semalam.” Jawab Yosril terbata-bata.

***

Menjadilah Hujan Yang Memaafkan :)

Senin, 06 Februari 2012



“Hujan itu anugerah. Hujan itu tanda kehidupan. Awal bersemainya cinta. Cinta yang berakhir dengan meninggalkan rindu di dada. Seperti hujan yang jatuh, lalu membekas di tanah tapi tidak melulu meninggalkan luka.”

Aku selalu merindukanmu. Tidak pernah ada alasan yang pas untuk menjelaskan mengapa rindu itu terus bersarang dikepala ku. Bahkan hujan yang biasanya menghibur kini berbalik menyudutkan ku. Selalu membawa bayangmu setiap menemui ku. Membuat sudut mata ku basah. Menimbulkan banyak tetes rindu yang kemudian menyatu dalam lirih doa yang ku lantunkan perlahan pada langit yang tidak lagi terlihat biru.

Hari ini hujan sudah dari pagi mengguyur kota. Pun hati ku. Menghasilkan banyak genangan rindu yang tidak bertuan. “Dear hujan yang selalu menggenang dihatiku. Ku titipkan genangan rindu ini untuknya. Untuk semua ingatan tentang kami berdua dimasa lalu.” Bibir ku seperti lancang bergerak sendiri. Digerakkan pikiran yang sudah diambil alih hati.

Masih mencerna rindu. Aku berdiri di depan jendela kamar tempat biasa aku memandang mu berlari menghindari hujan yang sedang dijamu semesta. Mengharapkan bayang mu yang mulai memudar karena kesibukan yang terus merajai pikiran ku seminggu ini.

“Itu kamu. Ada kamu disana. Dan ada aku juga.” Pekik ku histeris dalam hati.

Tiba-tiba rinai hujan yang sedang ku pandangi itu berubah. Menjadi tampak jelas. Ada kamu. Aku. Dan ….

“Coba kau lihat anak kecil itu. Itu. Yang sedang berlari-lari kecil sambil mendorong mobil mainan merah.” Tunjukku memecahkan keheningan di antara rapatnya bahu kami yang sama-sama membeku kedinginan dibawah hujan dan suara deru langit yang dari tadi sedang berlagu.

“Mana? Banyak anak kecil disana.” Jawab mu sekedarnya namun seperti terpaksa.

“Itu. Anak yang sedang berlari dibawah hujan, dengan kaos biru dan sandal jepit kuning.” Ulangku dengan penuh antusias. “Anak itu seperti benar-benar sedang menikmati hujan.  Liatlah ekspresinya!” aku semakin bersemangat. Ku lihat senyum mengembang dari bibir mungilmu.

“Tampak biasa.” Ucapmu masih dengan kesombongan yang dari dulu kau pelihara. “Ahk, ternyata terkadang senyum tidak melulu berarti suka. Bisa juga hanya cara untuk menyembunyikan luka dan mempertahankan bahagia yang tersisa.” Guman ku dalam hati.

Biasa? Maksudmu?” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Sudah ku duga. Kau bahkan tidak pernah mengerti apa yang ada di pikiranku.

“Ya biasa. Sebiasa hujan ini.” Ucapmu lagi dan masih tetep datar seperti tadi. Tidak ada ekspresi lebih dari wajah ayu mu.

Kau tidak suka hujan! Itu lah kali pertama aku menjudge seseorang dengan terburu-buru. Dan itu bukan tanpa alasan. Aku melihat jelas dari wajahmu, ketika kau memperhatikan ku girang menyambut hujan.

Kami sama-sama diam. Aku sudah tidak berniat melanjutkan perbincangan yang ku bayangkan akan berwarna. Meskipun hujan seperti sedang memberi waktu pada kami untuk menikmati kebersamaan. Tapi kau seperti tetep tidak bisa peduli. Kau tampak gusar, berkali-kali ku lihat kau membolak-balikan tangan kecilmu untuk sekedar memastikan waktu. Seolah ingin berkata jenuh karena dari tadi hujan terus membiarkannya bersama ku.

Itu terakhir kali aku melihatmu. Memandangmu dari dekat. Sedekat bahu kita menyatu saat itu.

Hujan semakin deras ketika aku sadar, hujan hanya sekedar mengembalikan sesaat ingatanku tentang kamu. Membiarkan aku mengenang masa lalu yang sudah semestinya aku lupakan.

Aku tidak pernah meninggalkan mu. Bukan alasan bagiku untuk membenci bahkan meninggalkanmu meskipun kau tidak punya kesamaan yang sama seperti aku, mencintai hujan. Kau sendiri yang menghilang. Menjauhkan diri dari ku yang terus menerus kau bilang menyeramkan, karena terus seperti menTuhan kan hujan.

Harusnya, kau tanya dulu pada ku. Aku tidak men-Tuhan kan hujan. Tuhan ku hanya satu. Dan hujan adalah kebahagiaan yang diberikanNya untuk ku. Kau menjudge ku dengan hina. Dengan cara yang bahkan tidak disukai oleh Tuhan mu. Pun Tuhan ku.

Tapi bagaimana pun kamu. Hujan tetap saja memaafkanmu. Membiarkan aku melulu berbicara tentang kamu. Mestinya kau bangga, hujan justru selalu membawa bayanganmu. Sepenggal kenangan yang tidak sengaja kau susun untukku dulu. Karena hujan itu hebat. Ia selalu punya naluri. Ia selalu tahu, dimana ia harus menjatuhkan rindu, dan memberikan pengertian pada ku, bahwa tidak ada yang buruk untuk mengenal dan merindukanmu.

“Aku adalah satu dari jutaan tetes hujan yang terus menerus menghantarkan rindu. Adakah kau merasakan hadirku?”

Kepada hujan yang menerus kutitipkan rindu pada tiap rintikmu. Tolong sampaikan padanya, “aku lah kehidupan baru yang menjadi bahagia setelah ia temukan”.


Bandar Lampung, 6 Februari 2012
#PKW