Teras rumah ku masih terasa sangat lembab dipermukaan
telapak kaki ketika dengan sengaja aku menginjaknya. Hujan memang sudah dari
tadi reda. Menyisahkan aroma wewangian tanah yang sangat khas dan selalu mampu
menarikku keluar rumah untuk menghirupnya.
Aku kecanduan. Ah.. hanya kata dengan konotasi negatif
itu yang terasa pas aku sematkan pada kebiasaan aneh ini. Dan bukan hanya pada
aroma wewangiannya tanah setelah hujan saja kecanduan aneh ku ini berhenti.
Dari kecil dengan diam-diam dan tanpa sepengetahuan siapapun kecuali Yosril,
aku sudah mencandu hujan. Menjadi penikmat setia hujan. Yosril lah yang pertama
kali tahu bahwa aku seorang pecandu tanpa aku beri tahu. Dan berkat kebiasaan
mencandu itu akhirnya kami bisa bersahabat dan sama-sama sering mencandu.
“Jadi semua sudah jelas ya dengan penjelasan saya
tentang Zona Ring Of Fire dan ujung lempeng samudera tadi. Minggu depan tugas
paper Geomorfologi sudah harus dikumpulkan.”
Suara Pak Gede dosen galak yang sedikit genit itu
disambut ramai oleh anak-anak. Ini kuliah sore terakhirku minggu ini.
Meskipun kuliah sudah selesai, tapi masih banyak
teman-temanku yang bertahan di dalam ruangan, mengingat di luar sedang turun
hujan deras. Hanya ada beberapa temanku yang sudah pulang karena kebetulan membawa
payung atau senang berada diluar menikmati dinginnya hujan. Sedang aku, kali
ini aku lebih memilih memandang hujan dari balik jendela kelas sembari
menghirup aroma wewangian tanah yang berhembus lalui fentilasi udara.
“Hei..
Ngelamun aja lo, Ser!” Sergap Rena dari belakang mengagetkanku.
Aku yang
masih kaget hanya membalas senyum.
“Lo belum
pulang?” tanya Rena lagi.
“Belum Na.
Masih nikmat nih. Sayang kalo di tinggalin.” Jawabku tanpa menoleh.
“Kebiasaan ya
lo, Ser. Tahan kenyang makan hujan dari pada makan nasi.” Gumannya pelan sambil
ikut memandang ke luar jendela.
“Lo belum
tahu sih gimana enaknya mencandu.” Balasku tidak mau kalah.
“Udah ah,
ayolah pulang. Gue dah ditungguin nyokab nih dirumah. Sepupu gue baru dateng
dari Riau” Bujuk Rena sambil menarik-narik pelan kemeja biruku.
“Lo pulang
duluan aja ya Na. Gue masih mau disini. Lagian temen-temen juga belum banyak
yang pulang.”
“Tapikan gue
pulangnya nebeng lo, Ser. Tega ya lo biarin cewek manis kaya gue pulang
sendirian hujan-hujan gini.” Rengek Rena lagi sambil memperbaiki dandanannya.
Aku tertawa geli melihat kelakuannya. Sahabat ku satu
ini memang centil banget. Wajar kalau banyak temen cowok di kampus yang berani
mati-matian mengejar cintanya. Tubuhnya semampai, wajahnya cantik, dan manja. Sayangnya
dia berkali-kali cerita kalau dia belum mau pacaran setelah patah hati yang
terakhir sekitar 2 tahun yang lalu. Belum bisa move on alasanya. Ah.. alasan klise sebetulnya.
“Oke gue
anterin. Tapi traktir gue Soup Janda yaa.” Nego ku sambil menarik tangannya
keluar.
Sebenarnya sayang meninggalkan hujan dan wewangian
tanah yang sedang meluapkan rindu padaku ini. Tapi rasa ibaku pada Rena muncul
ketika melihatnya pura-pura memelas. Aku kasihan juga akhirnya. Dari dua hari
yang lalu dia terpaksa naik angkot ke kampus karena mobilnya masuk bengkel. Dan
aku jadi sopir pribadi dadakannya. Huufh (benerin poni).. hihi..
***
“Yosril
Mahendra Saputra !!” lafal ku sambil sedikit teriak.
Ada sedikit rasa tidak percaya ketika melihat nama dan
fotonya tertera di daftar permintaan pertemananku di Facebook. Sudah lama sekali aku mencarinya pada kolom search di facebook. Bahkan aku sampai membuat ulang facebook dengan nama asli agar bisa dengan mudah tertera pada mesin
pencaharian dan berharap dia masih mengingat dan mencari ku.
Sempat down
dan putus asa juga dulu. Mengingat sekarang kemajuan teknologi sudah pesat.
Sudah zaman i-Pod, Blackberry, dan semacamnya. Tapi, aku belum juga
menemukannya di facebook. Pernah sih
berpikir mungkin dia menggunakan nama alay
atau sejenisnya yang sering di gunakan banyak pengguna facebook. Makanya sampai rela buat facebook dengan nama Sera Wijaya
Magali part II dan di tertawakan teman sekampus gara-gara ini.
Masih dengan rasa tidak percaya aku mengulang nama
yang tertera dalam daftar permintaan pertemananku, “Yosril Mahendra Saputra”. -9Aku langsung menkonfirmasi permintaannya.
Segera kulihat profil lengkapnya. “huuuh pantesan aja gak pernah ketemu di
kolom search. Bergabung di facebooknya saja baru satu minggu. Dan
aku adalah teman ke 23 dia.” Guman ku dalam hati sambil terus membolak-balik
halaman album dan info di profilnya.
Belum hilang rasa tidak percaya ku, aku dikejutkan
lagi dengan chat yang masuk. “Yosril !!” teriakku girang. Dengan antusias aku
langsung membuka kolom chat darinya.
“Hei..”
tulisnya singkat.
“Hei juga”
balasku sambil terus menahan luapan kebahagiaan yang menggebu di hati.
“Ini Sera
yang dulu tinggal di Asrama Armed XV bukan ya?” seperti ada keragu-raguan dalam
tulisannya kali ini.
Kebahagiaan ku semakin bertambah. Ternyata ini benar
Yosril sahabat kecil yang sudah bertahun-tahun berpisah denganku.
“iya benar.
Ini Yosril anak Om Wiryo ya?” balasku agak lama sambil menahan emosi biar
kelihatan sedikit jaim.
“Iya, bener
banget. Senang akhirnya setelah 2 hari nunggu konfirmasi akhirnya ketemu kamu
yang asli. J Kamu apa
kabar Sera? Gimana kabar Om Tante? Kalian tinggal dimana sekarang?” tulis
Yosril bertubi-tubi. Seperti sudah tidak sabar lagi bertanya padaku.
“Yang asli?
Maksudnya? Aku baik-baik aja. Papa mama juga gitu. Papa mama sekarang tinggal
di Puslatpur (Pusat Latihan Tempur) di Martapura Sumatera Selatan. Kalau aku
sekarang kuliah di Lampung. Kamu apa kabar? Betah ya lama menghilang dari aku.”
Balasku sedikit bersemangat.
Lama aku menunggu balasan darinya. Sudah hampir 45
menit tapi belum ada tanda-tanda akan di balas. Layar online pun masih tertera pada kolom chatnya. Akhirnya aku
memutuskan untuk offline saja. Aku tidak mau terlihat terlalu agresif pada
obrolan partama ini.
“heeiii.. Disini hujaaaan.” Aku bersorak dalam hati.
Seolah ingin memberi tahu pada Yosril bahwa pertemuan kami di dunia maya ini di
sambut oleh hujan. Oleh sesuatu yang dari dulu sama-sama kami candu.
Aku belum puas melihat wajahnya di foto yang hanya ada
satu di album profilnya. Masih sama seperti dulu. Ada satu garis luka di pipi
sebelah kiri akibat terkena pedang-pedangan kayu milik ku yang dulu sering kami
mainkan. Yang membedakan adalah munculnya garis kharismatik yang terpancar dari
pandangan teduh dan tatapan tegas di matanya. Dia sudah tampak lebih dewasa
sekarang. Dan pastinya sudah jauh lebih tinggi dariku.
Aku terkekeh mengingat fisiknya dulu. Mama bilang anak
laki-laki memang akan terlihat lebih pendek dari anak perempuan sebelum dia
baligh. Dan sudah terbukti sekarang.
Sudah lebih dari satu windu kami tidak bertemu.
Semenjak ke pindahan tugas ayahnya ke Padang, kami tidak lagi saling bertukar
kabar. Dia seakan menghilang begitu saja dari ku. Awalnya aku sempat di buat
kesal dan marah padanya karena tidak menemuiku saat akan pindah. Tapi janji
kecil yang sempat dia ucapkan untuk selalu mencariku, mampu mengubur
dalam-dalam rasa kesal dan marah ku padanya. Seolah memberi banyak harapan
padaku.
“Coba deh
kamu lihat hujan di luar itu. Dia itu setia loh.”
“Kok bisa
setia?”
“Kata bunda,
hujan itu selalu setia pada bumi. Hujan selalu turun kebumi kala bumi sedang
merindu.”
“Maksudnya?”
“Itu loh Ser,
seperti kata bu Neni guru IPS kita. Jadi hujan itu jatuh pada bulan Oktober
sampai Maret. Dimana bumi sedang benar-benar rindu pada hujan karena sudah
berbulan-bulan terserang kemarau.”
“oh iya yaa..
Kamu bener Yos, aku sampai gak kepikiran sampai sana.”
“kita kan
sama-sama pecandu hujan. Kita gak boleh hanya suka hujan. Tapi kita harus bisa
memahami dan mengerti makna hujan yang sebenarnya.”
“wah,
kata-katamu berat Yos. Hujan itu seperti punya naluri ya. Dia tahu pada siapa
dan kapan ia harus menjatuhkan rindu.
“Bener banget
Ser. Suatu saat nanti kalau kita berpisah, aku janji akan mencarimu. Seperti
hujan yang mencari kemarau di bumi untuk dibasahi.”
Sekarang masih februari. Hujan masih sering datang
dengan deras setiap hari untuk menjenguk ku. Memberikan waktu padaku untuk
meluapkan kebiasaan mencandu yang terhenti karena kemarau.
Hujan hari ini hanya datang sebentar. Seolah hanya
memberitahu ku bahwa ia masih ada di bulan penghujan yang akan berlalu bulan
depan. Sama seperti Yosril. Hilang lagi begitu saja. Entahlah mengapa aku jadi
sangat marah padanya. Dia tidak pernah lagi mengabariku sejak chat 6 bulan yang
lalu.
“Seraaaa…”
Teriak Rena kencang mengagetkan lamunanku.
“Apa-apaan
sih lo ini.” Maki ku repleks akibat kaget. Sambil ngerem ngejut.
“Lo sih, dari
tadi ngelamun aja. Kan bahaya. Ngelamun tuh sambil tiduran, bukan sambil
nyetir.” Balas Rena lebih galak.
“o.. o.. o..
iya iyaa.. Sorry Na. Gue lagi banyak pikiran.” Jawabku merasa bersalah.
“iya gak papa
Ser, gue takut aja dari tadi lo ngelamun terus. Lo ada masalah ya?
“gak kok Na,
gue gak apa apa.” Aku berusaha menutupi lamunanku.
“lo nanti
mampir dulu ya ke rumah gue. Sepupu yang pernah gue ceritain langsung ikut
pendidikan SPA AD setelah lulus kuliah lagi di rumah gue. Dia lagi mau nyari
temennya disini. Siapa tau lo kenal.” Rena nyerocos sambil antusias menunggu respon
ku.
“iya deh.
Siapa nama sepupu lo? Lupa gue..”
“horeee..”
sorak Rena girang. “Hendra namanya.. Awas ya, nanti naksir lo sama dia. Ganteng
loh Ser.” Goda Rena dengan gayanya yang centil.
“ih sorry
yaa.. Gue mah masih setia nungguin janji abang Yosril gue itu.” Jawabku tak
kalah centil.
“hahahaa….”
aku dan Rena tertawa berbarengan.
Sampai di rumah Rena kami langsung di sambut Tante
Dian mama nya Rena hangat seperti biasa dan menyuruh kami masuk. Karena sudah
sering kesana aku jadi sudah seperti menjadi bagian dalam rumah ini.
“eh Sera,
maaf ya Rena ngerepotin kamu lagi.” Kata tante Dian basa basi sambil
menyuguhkanku makanan ringan.
“biasa kok tante.
Gak apa apa kok.” Jawabku. “masak apa tante? Kata Rena tante masak banyak hari
ini.” tanyaku akrab.
“Iya, tante
masak banyak hari ini. Kami lagi kedatangan tamu. Sepupunya Rena yang dari
Riau. Nanti Sera makan malam disini aja ya. Di rumah kan sendirian juga
kamunya.” Kata tante Dian membujukku.
Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan Tante Dian. Hal
yang lumrah bila Tante Dian mamanya Rena baik padaku. Aku dan Rena sudah
berteman baik dari awal kuliah, dan aku sudah sering sekali menginap di rumah Rena.
“Ser, kenalin
ini Hendra sepupunya Rena yang baru dateng dari Riau.” Ucap tante Dian
mengagetkanku yang sedang membantu merapihkan meja makan bersama Rena.
Beberapa saat aku sempat terdiam. Belum hilang
kekagetanku tadi sudah bertambah lagi rasa kagetku. Seorang lelaki tampan,
gagah dan sepertinya pernah aku kenal berada di depanku sekarang.
“Seraaaa”
“Yosriiiill” ucapku bersamaan dengan laki-laki yang di akui Rena sebagai
sepupunya.
“Kalian….?”
Tante Dian dan Rena memandang kami bengong.
“kamu Yosril
kan?” tanya ku pada sepupu Rena masih tidak percaya.
“iya. Kamu
Sera kan?” tanya sepupu Rena balik.
“jadi Sera
teman yang mau kamu cari jauh-jauh dari Riau, Hen?” tanya tante Dian pada
Yosril yang tidak lain adalah sepupu Rena.
“i.. ii.. ya
tante. Se.. ee.. ra.. ini anak teman
Ayah yang aku ceritakan semalam.” Jawab Yosril terbata-bata.