“Mencintaimu itu, seperti meniup gelembung sabun ke
udara lalu kujaga agar tak pecah. Dan saat pecah pun, kamu membuatku
tersenyum.”— falafu
“Apa yang sedang kamu pikirkan Nasha?” Suara Jandra
memecah hening yang tengah diciptakan kepalaku. Aku tersenyum enggan, agak
merasa terganggu. Walau aku tahu ini bukan salahnya.
“Tidak, aku hanya tengah berpikir bagaimana rasanya
jadi orang buta.” Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku sedang
tidak ingin mengarang apa pun.
Jandra mengerutkan keningnya seperti biasa.
Menyodorkan segelas strawberry juice yang kupesan tadi, “Memang ada apa
dengan orang buta? Kenapa perlu memikirkannya, bila kamu bisa bertanya dan
melihat.”
“Apa kamu tidak merasa, bahwa menjadi buta pastilah
sulit sekali. Atau justru malah bisa jadi sederhana sekali!” Aku berseru
sembari menatap Jandra lekat, berharap dia bisa mengerti maksud dari kalimatku.
“Jelaslah pasti sulit. Tapi bagaimana itu justru bisa
jadi sederhana?” Jandra menyeruput coklat panas miliknya.
“Ya, bayangkan, karena buta kamu pasti tidak tahu
seperti apa warna dunia ini—kecuali hitam tentu saja. Itu pasti membuatmu lebih
sederhana dalam mengambil keputusan hidup. Tak perlu ada kebingungan saat
memilih baju, tak ada kebingungan saat memilih warna dinding rumah, tak ada
persoalan saat memilih wajah dari pasangan hidup kita. Kamu hanya tahu baju itu
nyaman maka kamu pakai. Kamu hanya tahu, kata orang warna langit itu biru, maka
kamu cat dinding rumah dengan warna itu. Walau dicat dengan warna apa pun, tak
akan berpengaruh banyak bagi hidupmu. Kamu hanya tahu bahwa pasanganmu baik,
lalu kamu pun memutuskan untuk menikahinya. Bukankah hidup yang demikian begitu
sederhana dan menyenangkan? Begitu jujur, ya kan?” Aku menyelesaikan
argumentasiku lalu memakan sepotong strawberry yang menempel di ujung
gelas panjangku.
“Lalu, kamu mau terlahir jadi orang buta, atau tiba-tiba menjadi buta?” Jandra tersenyum menggoda. Aku tahu, dia mengerti dengan jelas apa yang kucoba jelaskan tadi. Dia hanya tengah berusaha bersikap se-normal mungkin di hadapan perempuan yang kerap berpikiran aneh sepertiku. Apalagi menanyakan hal semacam ini padanya. Kalau dia bukan Jandra, aku pastu sudah ditampar. Hanya Jandra yang masih bisa tersenyum manis mendengar argumentasi aneh macam milikku barusan.
“Apakah bila aku buta, kamu akan tetap menikahiku?”
Aku justru bertanya balik padanya.
Jandra menyeruput kembali coklat panasnya. Menatap
mataku sembari berpikir dan lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa coffee
shop, “Entahlah, mungkin akan kupikirkan dulu baik-baik pertanyaanmu yang
ini.”
Lalu aku pun tertawa mendengar jawabannya. Jandra
calon suamiku. Dia tidak pernah asal menjawab setiap pertanyaanku, apa lagi
memilih untuk murah menggombal hanya agar nilainya bertambah di mataku.
“Kenapa tidak kamu jawab; ‘Tentu saja Nasha, aku
pasti akan tetap menikahimu seperti apa pun kondisimu. Kamu adalah segalanya
untukku’. Kamu selalu menyia-nyiakan kesempatan untuk menggombal yang
kuberikan. Sejak kapan kamu pensiun menggombal?” Aku menyipitkan mata
menggodanya.
“Sejak aku melamar seorang perempuan, yang untuk bisa
hidup bersamanya saja aku harus menerima banyak pertanyaan aneh.” Jandra
memprotes.
Seketika aku pun kembali tertawa mendengar jawabannya,
“Kenapa kamu tidak bertanya balik padaku. Kamu tidak pernah ingin tahu kenapa
aku mau menikah denganmu?”
Jandra mengedipkan matanya perlahan. Bulu matanya yang
bertumpuk manja begitu menggodaku untuk terus menatapnya. Begitu pun alisnya
yang tebal sempurna.
“Aku hanya ingin menikahimu. Tak ingin mendengar
alasan-alasan yang bisa saja kamu karang dan permanis di sana sini. Kamu sendiri
yang pernah bilang kalau bibir manusia adalah indra yang paling sulit
dipercaya. Kamu yang mengajarkan hal itu padaku. Katamu, mata adalah yang tak
pernah berbohong. Aku percaya pada ke dua matamu. Cinta adalah perbuatan bukan?
Selama kamu tak lelah menggenggam tanganku, aku pun tak perlu melelahkan diri
sendiri untuk bertanya-tanya ‘kenapa’ kamu mau mencintaiku selama ini.”
Aku tersenyum, meraih jemari Jandra yang sejak tadi
menggeggam botol mayonnaise di atas meja cafe, “Kamu tak ingin mengubah
lokasi foto pre-wedding kita? Tetap ingin di bukit belakang cafe ini?”
“Katamu tempat itu indah bukan?”
“Tentu saja indah.”
“Kalau begitu mengapa perlu kita ganti. Apa yang indah
menurutmu tentu saja begitu juga bagiku.” Jandra menghabiskan tegukan terakhir
coklat panas miliknya.
***
“Kamu lucu sekali memegang payung berwarna merah itu.
Mirip personil boy band.” Godaku di tengah sesi pemotretan pre-wedding
kami. Beberapa bulir keringat kulihat mengucur dari kening Jandra.
“Kamu kan yang memilih warnanya. Apa pipiku sudah sama
merah dengan payung ini?” Jandra meledek dirinya sendiri.
“Blush on-ku masih lebih merah. Pipiku bahkan
sudah lebih mirip tomat matang.” Mendengar jawabanku, Jandra merapatkan
dirinya. Mencoba memastikan kalau payung yang dia genggam pun juga sempurna
melindungiku. Dia tahu barusan aku hanya bercanda, dia tahu bahwa kenyataannya
pipiku merah sempurna karena terbakar matahari.
“Nanti kalau sudah menikah. Aku akan rajin-rajin
mencium pipimu agar tak cepat matang.” Jandra bergumam manis.
“Nasha, kita mulai lagi ya! Kamu siap Jandra?” Kio,
fotografer kami hari itu memanggil kami dari kejauhan. Lalu kami berdua
pun menganggukkan kepala.
“Aw!” Aku berseru saat secara tak sengaja Jandra
menginjak ujung gaunku saat kami ingin kembali ke posisi foto.
“Hahaha.. aku rasa gaun yang kamu gunakan terlalu
panjang sayang. Pastikan gaun pernikahanmu tidak sepanjang yang ini. Atau aku
akan kembali menginjaknya.” Jandra menikmati wajahku yang cemberut. Aku menarik
tangannya untuk kugenggam dan kembali berjalan.
Apa jadinya kami tanpa genggaman ini?
***
“Hujannya sudah mulai berhenti, kamu
tidak bawa payung ya?” Anak laki-laki itu memecah hening di kepalaku dan aku
pun melirik sebal ke arahnya.
“Seperti apa warna hujan itu? Itu kalau kamu berbaik
hati menjelaskannya untukku.” Dia kembali melemparkan pertanyaan, setelah
pertanyaan pertamanya bahkan tak kujawab. Aku memperhatikannya. Anak laki-laki
ini tidak jelek. Kenapa dia bisa melemparkan pertanyaan sebodoh itu, pikirku.
“Hujan ya tidak ada warnanya.” Jawabku asal. Mulai
berpikir untuk beranjak. Tapi pertanyaan lanjutan yang dia ajukan menghentikan
langkahku.
“Bagaimana mungkin hujan tidak punya warna padahal
begitu banyak orang menghindarinya? Kalau mereka tidak meninggalkan warna apa
pun di tubuhmu, kenapa kamu perlu menghindarinya?!” Entah kenapa dia bertanya
penuh emosi.
“Tentu saja agar tidak basah!” Aku membentaknya. Entah
kenapa juga aku begitu kesal mendengar argumentasi konyol yang tengah ia coba
keluarkan.
“Kalau pada basah saja manusia begitu takut, bagaimana
bila mereka di hadapkan pada kebutaan.” Anak laki-laki itu tersenyum pada
dirinya sendiri. Dan senyumnya begitu manis tertangkap mataku.
“Ini, pakai saja payungku.” Dia melangkah
menghampiriku, “Kamu bisa mengembalikannya ke sini kalau kamu sudah tidak lagi
takut basah. Aku sering mampir ke tempat ini. Berdiri terlalu lama di pelataran
ini tidak baik bagimu, hari sebentar lagi gelap.” Sebelum sempat kutolak, ia
itu sudah melepaskan genggamannya dari payung itu dan aku pun otomatis bergerak
menangkap payung miliknya agar tidak jatuh ke aspal becek pijakan kami.
Anak laki-laki itu berjalan ke tengah hujan dan
mengeluarkan besi dari saku celananya. Menekan tombol di ujungnya, dan seketika
besi itu pun jadi tongkat panjang yang menuntun langkahnya yang tak beraturan.
***
“Jandra, kamu harus peluk Nasha lebih erat lagi!” Kio
berteriak ke arah Jandra.
“Nanti dia tidak bisa nafas Ki. Biarkan saja seperti
ini.” Jawab Jandra santai.
Aku tahu Jandra sudah mulai lelah berdiri dan berpose
aneh selama 4 jam kebelakang. Kalau bukan karena dia teramat mencintaiku, dia
tidak akan pernah mau melakukan hal yang begitu tidak dia sukai— difoto adalah
hal yang begitu dia benci. Aku pun merangkulkan lenganku ke pundaknya, “Biar
aku saja yang memeluknya Ki, Jandra memang tidak pandai memeluk! Dia tidak
terlalu khawatir kalau-kalau aku nantinya berlari mencari pelukan lain.”
“Nah bagus Nash, bertahanlah dengan posisi seperti itu
satu menit ke depan, oke!” Kio kembali berseru dari sebrang sungai kecil di
hadapan kami.
Jandra tertawa sembari menatap ke arahku, “Oh
jadi kamu sudah berniat berlari dari pelukanku, bahkan sebelum kita menikah?”
“Apa kamu akan mengejar, atau akan kamu biarkan aku berlari?”
Aku bertanya penuh nada ingin tahu.
“Akan aku biarkan.” Jandra bahkan menjawabnya tanpa
perlu terlihat berpikir sedetik pun.
“Jahat sekali. Kenapa akunya tidak dikejar?!” Aku
merajuk.
“Biar kamu tahu, seberapa besar kamu mencintaiku
Nasha. Terkadang jarak adalah guru yang tak pernah bisa dibeli, bahkan oleh
waktu.” Jandra mencium bibirku seketika, walau lebih tepatnya dia hanya mencium
setengah dari bibirku.
***
Langkahku terhenti, saat kulihat gerakannya berhenti
di depan sebuah rumah. Dinding rumah itu berwarna hijau, temboknya dipenuhi
tumbuhan merambat yang bunga-bunganya berwarna ungu bemekaran. Dia pun berdiri
sejenak di depan gerbangnya seperti tengah menunggu sesuatu. Tak lama
gerbang rumah itu terbuka, dan seorang pria tua melebarkan payung untuknya.
“Haduh, payung Aden kemana? Kalau hilang harusnya Aden
telepon ke rumah.” Protes pria tua itu.
“Kenapa Pak To dulu bilang kalau hujan warnanya
coklat?” Anak laki-laki itu menepis payung yang dibuka untuknya.
“Karena dulu Aden ngga mau pakai payung, hujan bisa
bikin sakit Den. Nanti saya dimarahin sama Nyonyah.” Bapak tua itu mencoba
memayunginya kembali, sambil berusaha keras menahan untuk tertawa. Anak
laki-laki itu pun memilih melangkah lebih dulu memasuki gerbang rumah, lalu mereka
berdua pun menghilang dari pandanganku. Aku menatap diam ke arah mereka, tetap
membiarkan tubuhku basah di bawah hujan. Sedang payung itu tetap terlipat dan
tergenggam kuat di tanganku.
Saat itu, usiaku 11 tahun.
***
Aku memegang erat bahan beludru yang tengah
kuperhatikan, warnanya coklat hangat. Persis seperti minuman coklat kesukan
Jandra. Pinggaran bahan ini dihiasi bordir kupu-kupu ke-emasan. Cantik sekali.
“Jadi warna apa yang kamu pilih?” Jandra melangkah
mendekatiku, lalu aku mengusapkan bahan beludru itu ke pipinya. Membuatnya
sedikit terlonjak dan menghindar.
“Aku suka yang ini, lembut bukan? Aku pilih warna
coklat, boleh tidak?”
“Gorden warna coklat untuk rumah pasangan pengantin
baru? Apa itu tidak tampak terlalu suram? Coklat itu dekat dengan hitam.”
Jandra mengelus-elus bahan yang sengaja kuberikan ke dalam genggamannya.
“Apa salahnya? Bukankah warna apa pun asal itu
pilihanku, tadi kamu yang bilang sendiri sebelum kita berangkat ke sini kan!”
Aku memprotesnya. Walau aku tahu dia pasti akan mengalah untukku.
“Pilih lah yang lain, selain coklat.” Jandra
mengembalikan bahan beludru itu ke genggamanku, ternyata dia tidak sedang
berniat mengalah pada pintaku hari ini. Aku pun tak berani membantahnya. Jandra
jarang sekali menolak apa yang aku pinta, bila dia menolaknya, itu pastilah
karena dia benar-benar tidak ingin. Jadi aku pun memilih angkat kaki dari
hadapannya dan beralih ke sisi lain.
15 menit setelahnya...
Hujan turus agak deras. Jandra memilih menunggu di
mobil setelah perdebatan kecil kami soal warga Gorden dan aku masih berusaha
menghindari hujan, berlari dari toko gorden menyebrangi pelataran parkir. Saat
berberapa langkah hampir sampai ke mobil kulihat Jandra tertawa di dalam mobil,
tengah berbicara di sambungan telepon dengan seseorang.
“Kenapa masuk ke mobil duluan, kan di luar hujan?!”
Aku kembali memprotesnya. Sejak kalah memilih warna gorden yang akhirnya aku
pun memutuskan memilih gorden warna hijau tosca, moodku menjadi tidak
baik.
“Hujannya masih air kan? Basah sedikit tidak masalah.
Jangan manja. Oh ya, kamu dapat salam dari Bunda.” Jandra menutup ponselnya dan
menegurku. Aku tidak menjawabnya, hanya memanyunkan bibirku dan memasang
tampang kesal kepadanya. Hujan ya memang air, ya masa hujan batu.
Aku menggerutu di dalam hati.
30 menit kemudian mobil pun berhenti tepat di depan
gerbang rumahku, aku bersiap turun ketika Jandra tiba-tiba memegang tanganku,
“Kamu marah karena tidak mendapatkan gorden warna coklat itu? Telponlah kembali
ke tokonya dan tukar kembali gordennya jadi warna coklat.”
“Aku tidak marah.” Aku menyanggah kebenaran yang baru
saja Jandra tujukan padaku.
“Kamu diam sepanjang jalan. Kamu marah padaku Nasha.
Aku tidak suka hening seperti tadi. Kita tidak perlu bertengkar hanya karena
warna gorden. Lagi pula, apa pun warnanya itu tidak akan menjadi masalah
untukku. Atau mulai sekarang, aku tidak perlu memberi pertimbangan untuk
masalah warna. Aku percaya semua yang kamu pilih pasti akan tampak baik untuk
kita.” Jandra tak merenggangkan sedikit pun pegangan tangannya. Itulah caranya
menunjukkan padaku, bahwa apa yang tengah kami bicarakan adalah hal yang
penting untuk diselesaikan.
“Aku tidak marah!” Kali ini aku mengulang kata-kataku
dengan intonasi yang lebih keras. “Tidak akan pernah ada gorden warna coklat di
rumah kita, dan siapa bilang aku tidak perlu pertimbanganmu untuk apa-apa yang
kita putuskan? Sepanjang jalan aku pun diam bukan karena marah padamu. Aku
marah pada diriku sendiri.”
Jandra justru tertawa mendengar pembelaanku, “Kamu,
detik ini, tengah semakin marah Nasha.”
“Tidak!” Aku sudah membentaknya sekarang, nyaris
menangis. Aku memang begini, aku memang cengeng sekali bila berhadapan dengannya.
“Menyangkal kemarahan hanya akan membuatmu semakin
marah sayang. Kemarahan itu, harus diakui biar bisa reda dan tidak cemberut
lagi.” Jandra kembali menertawaiku, “Ini baru masalah gorden, akan banyak
hal-hal lain yang bisa jadi kita tidak sependapat nantinya. Apa masih mau
menikah denganku? Atau mau lari sekarang?” Sekarang Jandra malah menggodaku.
“Jangan lari dari gadis manja ini, awas saja kalau
sampai berani lari!” Aku memeluk Jandra seketika itu juga. Siapa yang mau lari
dari pria yang untuk melihatnya bahagia aku rela memberikan apa pun. Siapa yang
mau lari dari pria yang membuatku jadi perempuan yang paling ingin bertahan
hidup satu dunia ini.
“Beberapa orang suka sekali semakin kesal bila
dibilang tengah kesal. Kamu tidak boleh demikian. Apa salahnya mengakui bahwa
kamu memang tengah marah? Sayangku tidak akan berkurang hanya karenanya. Aku
pun tidak akan lari dari perempuan yang akan kunikahi ini.” Jandra mengusap
lembut kepalaku, bicara dengan nada hangat di telingaku.
Tuhan, biarkan dulu aku menikahi pria ini. Boleh,
tidak?
***
Ini hari ke delapan aku menunggunya. Hujan turun sejak
pagi dan sudah 2 jam lebih aku berdiri di atas aspal ini. Kemarin aku menyerah
setelah 4 jam menunggu. Kemarinnya lusa aku menyerah setelah 3 jam menunggu.
Hari ini aku berniat untuk datang ke rumahnya, bila anak laki-laki itu kembali
tidak datang.
“Menyebalkan sekali, dia bilang dia sering datang ke
tempat ini. Pembohong. Kenapa banyak sekali pembohong dalam hidupku ini!” Itu
adalah gerutu yang paling sering keluar 8 hari kebelakang ini. Entah berapa
puluh kali kuucap setiapa jamnya.
Tidak sampai 5 menit aku menutup mulutku, anak
laki-laki itu begitu saja berjalan pelan melewatiku. Hujan dan dia tidak
berpayung. Aku yang sudah 8 hari ini menunggunya pun justru mematung berdiri,
jantungku berdegub kencang entah karena apa. Aku memperhatikan langkahnya yang
tidak beraturan ke sana dan ke sini. Hingga dia tak sengaja menginjak kubangan
di hadapannya. Tubuhnya sedikit kehilangan keseimbangan tapi kemudian gesit
kembali lurus berdiri. Langkahku tertarik ke depan saat melihatnya hendak
jatuh, tapi seketika tubuhku kembali kaku.
Anak laki-laki itu tiba-tiba menoleh ke arahku dan
bola mataku pun membesar. Seperti tengah tertangkap basah walau aku pun tahu aku
tidak terlihat di matanya. Aku menutup mulutku rapat-rapat dengan sebelah
tanganku. Berharap dia tak mampu menangkap bunyi hembusan nafas ini. Lewat
beberapa detik akhirnya dia pun kembali ke arahnya melangkah. Aku pun kembali
menikmati langkah-langkah tak beraturan yang dia ambil dan tanpa kusadari, aku
bahkan berjalan mengikutinya. Terus mengikuti langkahnya. Melewati jalan yang
sama kembali pulang ke rumahnya.
Sepanjang jalan dia tak sedikit pun kesandung, persis
seperti terakhir kali aku berjalan di belakangnya seperti ini. Dia pasti sudah
menghafal langkah-langkah ini di luar kepalanya. Ada 1079 langkah dari toko
buku pinggiran itu menuju ke depan pintu gerbang rumahnya. Tanpa kusadari aku
menghitungnya sejak tadi. Aku rasa harus ditambah 15 langkah kalau sampai ke
tempatnya berdiri di depanku. Aku bergumam di dalam hati.
Hari itu aku berulang tahun.
Saat itu, usiaku 12 tahun.
***
JANDRA
Ini terlalu larut untuk masih duduk di taman kota ini.
Sepanjang hari ini Nasha bertingkah sangat aneh. Pertama, dia bilang ingin naik
komedi putar di pasar malam dadakan di dekat kompleks rumah. Lalu setelah itu,
merengek minta dibelikan bubur kacang ijo madura yang pake es dan roti katanya.
Dan sekarang, dia ingin kami duduk di bangku taman tempat kami pertama kali
bertemu dulu. Pukul 01.25 pagi dan 9 jam lagi kami akan menikah.
“Ingat tidak seperti apa cuaca waktu pertama
kali kita bertemu?” Nasha memecah hening yang dia ciptakan sendiri sejak tadi.
Dia meremas jemariku memastikan bahwa aku menyimak pertanyaannya.
“Hujan. Saat itu turun hujan.” Aku mencoba menahan
rasa kantuk ini. Tak tega menguap di hadapannya. Maka mataku pun berair kubuat.
“Ingatkan aku seperti apa kejadiannya. Ceritakan
padaku lagi. Ayo Jandra, ceritakan sampai aku jatuh tertidur.” Nasha belum
lelah merengek seharian ini.
“Tertidur di taman ini? Kalau kamu sudah mengantuk,
lebih baik kita pulang dan aku janji akan menceritakannya padamu sampai kamu jatuh
terlelap di ranjangmu sayang.” Aku pun belum lelah mencoba merayunya untuk
pulang.
“Tidak. Aku ingin tertidur di taman ini, di pangkuanmu
seperti ini.” Nasha tetap keras kepala.
Aku menarik nafas dalam. Ini memang salahku,
seharusnya tidak perlu ada sumpah untuk tidak boleh berkata ‘tidak’ sepanjang
hari ini. Aku membelai rambutnya yang selalu wangi vanila, mencoba menghirup
aromanya dan seketika aku pun selalu ingin menyayanginya lebih lagi. Ajaibnya
cinta.
“Baiklah, saat itu usiamu 18 dan aku 21 tahun. Aku
kehilangan tongkat yang kuletakkan di ujung bangku ini. Hujan turun dan aku
tengah kebingungan mencari benda yang menjadi pasangan mata hatiku selama
ini...”
“Lalu aku muncul dan bertanya; kamu sedang mencari
apa?” Nasha memotong ceritaku sembari terpejam. Aku tahu dia tengah
terpejam. Dia bahkan mengambil telapak tanganku untuk menjadi penutup kedua
matanya.
“Ya, lalu aku justru bertanya; apa kamu melihat
tongkat besi di sekitar sini? Ini sudah ke tiga kalinya aku kehilangan
tongkatku minggu ini. Aku rasa ada anak kecil iseng yang sengaja mengambilnya.”
“Lalu aku bilang; hey, kenapa kamu tidak genggam
tanganku saja, biar aku mengantarmu pulang. Rumahmu pasti tidak jauh bukan?”
Nasha kembali memotong ceritaku. Dia tidak mungkin tertidur kalau begini
ceritanya.
“Iya, lalu kamu pun mengantarku pulang. Aku
membiarkanmu menggenggam tanganku hari itu. Dan membiarkanmu terus
menggenggamnya hingga detik ini. Memilihmu menjadi pasangan mata hatiku.” Aku
sengaja meringkas ceritanya agar Nasha menyerah. Aku tidak mau besok dia jadi
pengantin dengan lingkaran hitam di sekitar matanya.
“Jandra, kamu lebih ingin menikah atau melihat seperti
apa warna hujan?” Nasha mengigau, sembari membetulkan posisi sandaran kepalanya
di pangkuanku.
***
Aku meyapu blush on warna merah hati ke pipiku.
Lipstick warna merah jambu setelahnya. Dan kemudian berkaca menatap
diriku sendiri, dari ujung kepala hingga ujung ibu jariku. Hari ini, aku
akan menyapanya. Hari ini aku harus menyapanya. Kataku mantap di dalam
hati.
Dan seperti yang sudah kuduga, dia duduk kembali di
bangku taman itu hari ini. Dia duduk di sana sembari membaca dengan tangannya
yang terus meraba. Buku itu terbuka lebar dan sesekali senyum di wajahnya pun
mengembang manis. Aku suka caranya tersenyum sembari menengadah ke langit.
Seolah dia begitu tahu bahwa langit di atasnya berwarna biru sempurna.
Aku menggenggam besi di tanganku, raut wajahku berubah
kusut ketika aku melihat sudah ada besi yang mirip tergeletak di sisinya. Lebih
bagus malah. Bagaimana bisa dia mendapatkan yang lebih bagus padahal dia baru
kehilangan besi itu kemarin. Lalu untuk apa aku mengembalikan besi yang ini,
kalau dia sudah punya yang lebih bagus? Aku menggerutu sempurna di dalam
hati.
Setelah 6 tahun kami tak pernah bertemu, entah kenapa
aku menjadi begitu gugup untuk menegurnya lebih dulu. Menyebutkan sebaris nama
yang dulu belum sempat kusebut padanya. Aku sudah melewatkan sekali kesempatan
kemarin, yang justru malah berakhir dengan membawa pulang tongkat besinya.
Nasib buruk macam apa lagi ini.
Dadaku kembali berdetak hebat. Aku tidak boleh
lebih tegang dari ini. Tidak boleh. Aku mengingatkan diriku sendiri,
menarik nafasku dalam-dalam. Masalah jantung ini yang telah membuatku berpisah
begitu lama dengannya. Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk sehat dan bahkan
tak pernah lagi menangis. Ketika bahkan Ibu memilih meninggalkanku, karena tak
bisa menerima bahwa ia memiliki anak yang lahir dengan kelainan jantung dan
kenyataan bahwa kekasihnya pergi melarikan diri. Aku tak lagi mau
memikirkannya, karena aku punya sepasang mata yang sehat. Bukankah Tuhan sudah
begitu baik padaku?
Aku mencoba melangkahkan kakiku, tapi justru jantungku
berdetak semakin cepat. Sial, aku pasti sudah benar-benar jatuh cinta
padanya! Aku mengutuki diriku sendiri di dalam hati. Jantungku berdetak
semakin kencang dan nafasku mulai tesenggal, maka aku pun menarik langkahku
mundur ke belakang. Mencoba menjauhinya.
Hari itu pun berakhir dengan menyogok dua anak kecil
yang tengah bermain sepeda. Membelikan mereka sekotak besar es krim untuk
kemudian aku tukar dengan tongkat besi milikmu yang lebih bagus itu.
Saat itu, usiaku 18 tahun.
***
JANDRA
“Lalu aku bilang; hey, kenapa kamu tidak genggam
tanganku saja, biar aku mengantarmu pulang. Rumahmu pasti tidak jauh bukan?”
Nasha kembali memotong ceritaku. Dia tidak mungkin tertidur kalau begini
ceritanya.
“Iya, lalu kamu pun mengantarku pulang. Aku
membiarkanmu menggenggam tanganku hari itu. Dan membiarkanmu terus
menggenggamnya hingga detik ini. Memilihmu menjadi pasangan mata hatiku.” Aku
sengaja meringkas ceritanya agar Nasha menyerah. Aku tidak mau besok dia jadi
pengantin dengan lingkaran hitam di sekitar matanya.
“Jandra, kamu lebih ingin menikah atau melihat seperti
apa warna hujan?” Nasha mengigau, sembari membetulkan posisi sandaran kepalanya
di pangkuanku.
9 jam kemudian...
Nasha tak pernah kembali terbangun dari tidurnya.
Jantungnya berhenti saat dia tertidur di pangkuanku. Dia terkena serangan
jantung dalam tidurnya, jantungnya berhenti begitu saja tanpa aba-aba.
Dan di sinilah aku, di dalam kamar operasi. Rumah
sakit menghubungiku, mengatakan bahwa aku telah mendapatkan donor sepasang
mata. Kalau saja Nasha ada, dia pasti akan menjadi yang paling bahagia
mendengar kabar ini. Sedang aku yang akan mendapatkan sepasang mata baru saja,
justru merasa lebih merana dari seorang mempelai pria yang buta sepanjang hidupnya.
***
Sepanjang jalan dia tak sedikit pun kesandung, persis
seperti terakhir kali aku berjalan di belakangnya seperti ini. Dia pasti sudah
menghafal langkah-langkah ini di luar kepalanya. Ada 1079 langkah dari toko
buku pinggiran itu menuju ke depan pintu gerbang rumahnya. Tanpa kusadari aku
menghitungnya sejak tadi. Aku rasa harus ditambah 15 langkah kalau sampai ke
tempatnya berdiri di depanku. Aku bergumam di dalam hati.
“Siapa di sana?!” Aku terlonjak kaget ketika anak
laki-laki tiba-tiba saja berteriak tepat ke arahku.
“Aku tahu kamu mengikutiku sejak tadi. Siapa di
sana?!” Anak laki-laki itu kembali berteriak. Jelas berteriak ke arahku. Bahkan
sekarang dia tengah berjalan tertatih menuju ketempatku berdiri. Sedang tubuhku
kembali membeku dibuat oleh tatapannya.
Kami hanya tinggal terpaut jarak satu langkah. Anak
laki-laki itu memajukan wajahnya, mencoba mencium bau tubuhku. Sedang aku masih
tidak sanggup berkata apa pun.
“Kamu, kamu mau mengembalikan payungku ya?” Suaranya
seketika melunak. Sekarang dia bahkan mengulurkan tangannya, seperti menunggu
sesuatu yang akan kuberikan padanya. Dan tersenyum padaku.
“Ba.. ba.. bagaimana kam.. kamu tahu aku ingin
mengembalikan payung padamu? Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku orang yang
sama?!” Bola mataku melebar, sungguh tak percaya apa yang baru saja dia ucapkan
padaku.
“Kamu bau vanilla.” Jawabnya lalu kemudian meringis,
“Kamu tidak pakai payung? Benar-benar sudah tidak takut basah ya? Tapi hujan
bisa bikin kamu sakit, jadi kamu harus tetap pakai payung.” Anak laki-laki itu
menengadah ke langit, memastikan bahwa air hujan jelas jatuh ke wajahnya.
Memastikan bahwa aku memang tidak sedang menggenggam payung.
“Kalau begitu kembalikan saja payungnya lain ka...”
“Bagaimana kamu bisa begitu baik-baik saja padahal kamu tidak bisa melihatku? Sedang aku yang bisa melihatmu saja begitu takut untuk bicara?” Aku memotong ucapannya, menghentikan gerakkannya seketika.
“Bagaimana kamu bisa mengingatku hanya dari bau vanilla, sedang Ibuku sendiri saja lupa kalau dia pernah melahirkanku dan meninggalkanku bersama Nenek? Bagaiman kamu yang tidak bisa melihat, justru mampu menyadari keberadaanku yang sejak tadi berdiri di belakangmu, sedang teman-teman yang jelas-jelas melihatku setiap waktu di sekolah, bahkan enggan memanggil namaku hanya karena aku tak punya Ayah?! Kenapa aku tidak buta saja sepertimu sehingga aku tidak perlu melihat hidupku yang buruk?!” Tangisku pecah, lututku terasa begitu lemas dan aku jatuh bersimpuh. Entah kenapa menyaksikannya yang begitu nyaman dengan kondisinya, membuatku begitu kesal pada diriku sendiri detik ini.
Dia mencoba meraba pundakku dan membantuku untuk berdiri kembali, “Seharusnya dengan sepasang mata yang kamu miliki, kamu tidak punya hal lainnya yang pantas untuk ditangisi di dunia ini. Bersyukurlah atas sepasang matamu yang sehat, yang dengannya kamu bisa melihat dengan jelas seperti apa warna hujan dan tidak hanya bisa membayangkannya saja sepertiku.” Anak itu kembali melepas senyumannya yang manis. Matanya berkerejap lembut, tak ada satu pun titik hitam di matanya, tapi aku berani bersumpah itu adalah mata terindah yang pernah menatapku. Tatapan yang tak memberiku sedikit pun rasa kasihan dan kesakit-hatian, seperti yang selama ini aku terima dari mata lainnya. Dan bak sihir, kalimatnya barusan membuat tangisku berhenti seketika.
“Siapa namamu? Aku akan memanggilmu setiap kali kita bertemu nanti.” Tanyanya sembari kembali tersenyum. Rasanya detik ini aku ingin memasukkan senyum itu ke dalam amplop dan mengirimkannya ke langit. Dengan pesan tertulis; Tuhan, aku ingin si pemilik senyum ini bisa memiliki sepasang mata yang bisa melihat seindah apa senyumannya.
“Adennn! Haduh, kenapa hujan-hujanan lagi?! Ayo masuk, nanti Nyonyah keburu pulang!” Pak To yang sebelumnya mengatakan bahwa warna hujan itu coklat tiba-tiba keluar dari dalam pagar dan berlari ke arah kami.
“Kalau namamu siapa?” Aku buru-buru bertanya padanya, sebelum Pak To itu sampai ke hadapan kami.
“Jandra. Namamu, siapa namamu?” Dia menjawab sembari mengulang kembali pertanyaannya yang tadi belum sempat kujawab.
“Haduh, ayo-ayo cepat masuk Den!” Pak To memayungi Jandra, menggenggam tangannya, dan menariknya pergi untuk masuk ke dalam rumah. Sedang aku masih tertegun mendengar namanya.
“Jandraaa!! Suatu hari nanti aku pasti akan membuatmu bisa melihat seperti apa warna hujan itu!!!” Teriakku sebelum akhirnya dia benar-benar menghilang di balik pagar besi.
Dan senyum terindah seumur hidupku tercipta hari itu. Di hari ulang tahunku.
Saat itu, usiaku 12 tahun.
***
JANDRA
“Jandra, kenapa kamu begitu tidak suka difoto?” Nasha kembali bertanya padaku saat dia tengah kugendong di punggung setelah kami selesai naik komedi putar tadi. Aku rasa pertanyaan ke seratus lima puluh empatnya hari ini. Dia memang suka sekali bertanya, tapi hari ini dia bertanya terus seharian. SEHARIAN!
“Karena semua orang yang difoto memiliki harapan bisa kembali menikmati gambar yang ditangkap oleh lensa itu di suatu masa nanti. Mengingatnya kenangan indah itu sembari tersenyum, mungkin. Sedang aku, bagaimana aku bisa menikmatinya? Itu adalah hal paling tidak berguna yang bisa dilakukan orang buta sayang.” Jawabku santai dan itu sempat membuat keheningan sejenak di antara kami. Jeda yang cukup panjang untuk membuatku menerka-nerka apa yang tengah dicerna pikiran wanita yang begitu kusayangi ini. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang menderu hangat di telingaku. Apakah jawabanku terlalu jujur kali ini? Tapi bukankah kami selalu bicara terbuka selama ini.
Nasha merangkul leherku semakin erat untuk kemudian dia jadikan sandaran, “Percayalah, tidak akan ada satu pun foto kita yang akan menjadi sia-sia untukmu. Percayalah!” Serunya mantap lalu mencium pipi kananku kemudian, dari balik pundakku tentu saja. Gerakan spontannya sukses membuatku sempat kehilangan keseimbangan dan dia begitu menikmatinya.
“Tentu saja tak pernah ada hal yang sia-sia bila aku melakukannya bersamamu. Pun termasuk minta di gendong di punggung dan naik komedi putar butut di usia 30 tahun!” Aku sengaja berseru kencang untuk balas menggodanya. Kalian tahu, apa yang paling spesial dari Nasha adalah dia selalu membuatku merasa lebih muda dari usiaku. Selalu membuatku merasa bisa hidup lebih panjang lagi.
Nasha seketika membekap mulutku dengan jemarinya sembari tertawa lepas.
“Kamu tahu Jandra, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Bahkan bila saja ada kata di atas kata sangat, maka aku akan memilihnya detik ini juga.”
***
“Kamu mengajarkan begitu banyak hal. Begitu banyak hal
yang tak dapat kumengerti bahkan dengan kedua mataku yang sehat ini Jandra.
Kalau saja kamu masih ingat wangi vanilla di rambutku. Tapi enam tahun, tentu
saja waktu mampu membuatmu lupa.” Ujar Nasha pada hatinya, sebelum akhirnya dia jatuh
tertidur di atas pangkuan pria yang paling dicintainya.
Cinta yang baik adalah cinta yang memahami, bahwa memberi adalah bagian dari mencintai itu sendiri.— falafu
***
note: Copas dari blog falafu --> http://falafu.blogspot.com/
ini salah satu favorite saya.. :)