Tetesan Air Dari Syurga

Selasa, 17 Juli 2012

Senja baru saja kembali ke ujung langit. Burung bul-bul yang biasanya terbang berbarengan membentuk huruf V dilangit, kini  sudah kembali ke sarangnya. Sudah lebih sepi sekarang. Langitnya kosong. Hanya ada awan abu yang mulai menghitam, dan tetes air dari syurga yang baru mulai berguguran.

Beberapa anak kecil yang tadinya masih asik bermain langsung berhamburan masuk kesebuah mushola kecil yang berada persis tepat beberapa meter dari depan jendela kamarku, ketika suara adzan magrib berkumandang dahsyat menggetarkan hati. Sungguh pemandangan yang paling sering ku nikmati sambil duduk menunggu mama sholat magrib di kamarku. Apalagi bila di iringi tetesan embun yang mama sebut dari syurga itu berjatuhan. Aku seperti sedang tidak sendirian.

“Kamu mau makan sekarang, Dear?” suara lembut itu mengagetkan lamunanku. Suara itu milik mama ku. Seorang wanita dewasa dengan umur kepala empat yang dengan sangat sabar selalu berada di sampingku.

Aku tidak mengiyakan dengan mengangguk atau menggeleng sebagai tanda menolak pertanyaannya. Tapi, seolah mengerti, Beliau lantas tersenyum lalu berlalu meninggalkan kamarku.

Memori di kepalaku seperti menggeliat lagi. Memaksaku memikirkannya. Seorang gadis cantik berumur 18 tahun sedang berada dalam otakku. Ia tampak ceria. Matanya berbinar-binar, dan senyumnya mengembang lebar. Seperti sedang menyambut sesuatu yang sedang membuatnya bahagia.

Sampai disitu aku sudah benar-benar tidak bisa lagi membayangkannya. Aku sudah beberapa kali mencoba mengingat gambaran demi gambaran yang menggeliat terus di kepalaku. Tapi setiap hendak melakukannya, rasa sakit yang amat sangat bertubi-tubi seperti niat sekali menusuk kepala ku.

“Waktunya makan, Dear.” Suara lembut itu seperti tiba-tiba menjadi pengahapus rasa sakit di kepalaku. “Mama masak cumi garang asam kesukaanmu loh. Kamu harus coba ya, enak banget loh.” Sambil tersenyum mama memamerkan makasannya padaku.

Aku sudah berusaha menelan beberapa sendok masakan mama dengan susah payah hari ini. Aku sedang tidak ingin melihat mama menangis meski dibelakangku. “Aku benar-benar sedang berusaha, ya Allah.” Isakku dalam hati. Senyum mama mengembang tepat saat aku memasukkan sesendok nasi terakhir kedalam mulutku. Sepertinya ada gurat puas terpancar dari senyum itu.

“Mama mau merapihkan meja makan dulu ya, Sayang. Sebentar lagi pacar kamu datang. Mama malu kalau rumah kita kelihatan begitu berantakan.” Ucap mama sambil mengelus rambutku seraya beranjak pergi sambil terus tersenyum kepadaku.

“Pacar? Pacar siapa? Apakah aku sudah diperbolehkan pacaran dengan mama? Seingatku belum. Tapi siapa?” Kepalaku terus berusaha berpikir. Mencari jawaban untuk semua yang masih buram di mataku.

“Ma….. Mamaaaaaa….” Aku menjerit memanggil seseorang yang terus merawatku dengan sabar. Tidak ada jawaban. Aku memang kerap melakukan hal ini. Entah sejak kapan aku lupa. Tapi pastinya sejak aku merasa suaraku semakin sulit di dengar. Bahkan oleh telingaku sendiri.

“kreeek..” suara pintu kamarku di buka oleh seseorang.

Mataku masih mengerjap-ngerjap bingung. “Siapa dia? Kenapa ada orang lain disini? Kemana mama? Kenapa mama memperbolehkan orang lain masuk ke kamarku?” bertubi-tubi pertanyaan seolah semakin membuncah di pikiranku. Diikuti perasaan takut yang melanda.

“Sayang, bagaimana keadaan mu hari ini? Maaf aku baru bisa kemari hari ini. Seminggu kemarin aku harus ke Bogor menemani boss ku.” Suara yang sangat nyaman itu tiba-tiba membuat pikiranku kembali berpikir positif.

“Kamu sehat kan, Dear? Aku sempat ragu ketika hendak meninggalkanmu waktu itu. Tapi mama mu memaksaku pergi. Maafkan aku, Sayang.” Pria tampan itu terus berbicara tanpa jeda. Tanpa menunggu jawaban dan reaksiku.

“Hari ini, seperti janjiku seminggu yang lalu, aku akan menamani mu seharian. Dan kau pun harus bersedia menerima janjiku ya.” Entah siapa namanya. Yang pasti aku begitu menyukainya sejak pertama ia masuk ke kamarku tanpa permisi. Beberapa menit yang lalu.

Tiba-tiba tetesan embun dari syurga berguguran. Merubah aroma rumput menjadi aroma tanah kesukaanku. Wangi sekali. Aku benar-benar sedang menikmatinya.

Belum lagi habis hayalanku tentang tetesan-tetesan embun dari syurga, tiba-tiba saja pria tampan itu menggendong tubuhku. Ia barjalan sangat cepat. Ia membuatku berada di pelukannya sekarang. Ia mambawaku. Aku sempat melihat mama sebelum pria itu membawaku ke teras, tapi mama diam saja. Mama malah tersenyum melihat kelakuan pria tampan itu.

“Main hujannya jangan kelamaan ya, Ro. Tante takut nanti Deara masuk angin.” Mama seolah memberi izin pada pria tampan yang disebutnya dengan Ro mengajakku bermain di bawah tetesan embun dari syurga ini.

“Ro..” aku mencoba melafalkan nama pria tampan itu. Sudah sekali. Berkali-kali. Sampai aku seperti lelah mengucapkannya.

“Lihat itu Dear, kau mau mandi hujan? Deras sekali hujannya.” Pria tampan itu menatap lekat mataku. Ia seperti sedang menunggu jawaban atas pertanyaannya padaku barusan. Sorot matanya berkaca-kaca. Ia sudah berusaha menghapus butiran-butiran air yang keluar begitu saja dari matanya. Tapi tetap saja aku bisa melihatnya. Hingga akhirnya ia berlari sendiri kearah hujan di halaman.

Pria tampan itu tampak bahagia. Ia berputar-putar beberapa kali sambil berkali-kali meneriakkan namaku. “Dearaaaaaaa……” teriaknya. Aku melihat binar kebahagiaan menghujam lelaki itu. Mata yang tadi berkaca-kaca seperti hilang begitu saja. Sekarang malah sudah berganti gembira. Hujan seolah menjadi menghapus kepedihan dan penutup tangis paling sempurna.

“Ro…” aku masih mencoba mengatakan nama pria itu. “Ro…” ku ulangi lagi. Kali ini aku benar-benar merasa yakin, telingaku sudah bisa lagi mendengar suaraku. “Ro…” ulangku lagi meyakini. Tiba-tiba aku seperti diselimuti kebahagiaan yang telah lama aku tinggalkan.

Pria tampan itu seperti mengetahui gempita suka ku. Ia mendekati tubuhku masih dengan pakaian yang basah. “Iya sayang. Coba kau ulang. Ro… Aro…” ia sangat bersemangat menatap ku. Aku dan dia sempat saling beradu tatap beberapa saat. Pandangannya membuat aku bersemangat.

“Roo… Arr… oo…” ucapku perlahan. Aku merasa bahagia bukan kepalang. Aku merasa seperti telah di berkahi sesuatu. Telingaku telah berfungsi. Ahk entahlah, aku tidak tahu indera mana yang sebenarnya tidak berfungsi selama ini. Pikiranku buntu. Yang ada hanya kebuncahan bahagia yang sedang melanda.

“Tanteeeee… Tanteeeee…” Aro berteriak memanggil mama. Matanya terus memandangi mengawasi ku sambil duduk setengah berjongkok di depanku.

Seperti kehilangan kesabaran menunggu mama yang tidak kunjung datang, pria tampan itu dengan sigap langsung menggendong tubuhku. “Kau mau merayakannya, Dear?” ia mengajakku berbicara lagi. Belum lagi aku sempat merespon, pria itu lantas membawaku bermandi hujan. Tapi entah mengapa, air hujan yang aku sempat kira akan membalut tubuhku hingga menggigil malah terasa hangat. Entahlah, mungkin karena aku bermandi hujan dalam peluknya atau karena sang Pencipta hujan sedang lupa menutup kran air panas hingga bercampur dengan dinginnya air hujan yang sebenarnya. Entahlah, aku sedang tidak ingin membahasnya. Aku tengah bahagia, hanya itu yang ingin ku genggam saat ini.

... bersambung