Senja baru saja kembali ke ujung
langit. Burung bul-bul yang biasanya terbang berbarengan membentuk huruf V
dilangit, kini sudah kembali ke
sarangnya. Sudah lebih sepi sekarang. Langitnya kosong. Hanya ada awan abu yang
mulai menghitam, dan tetes air dari syurga yang baru mulai berguguran.
Beberapa anak kecil yang tadinya masih
asik bermain langsung berhamburan masuk kesebuah mushola kecil yang berada
persis tepat beberapa meter dari depan jendela kamarku, ketika suara adzan
magrib berkumandang dahsyat menggetarkan hati. Sungguh pemandangan yang paling
sering ku nikmati sambil duduk menunggu mama sholat magrib di kamarku. Apalagi
bila di iringi tetesan embun yang mama sebut dari syurga itu berjatuhan. Aku
seperti sedang tidak sendirian.
“Kamu mau makan sekarang, Dear?” suara
lembut itu mengagetkan lamunanku. Suara itu milik mama ku. Seorang wanita
dewasa dengan umur kepala empat yang dengan sangat sabar selalu berada di
sampingku.
Aku tidak mengiyakan dengan mengangguk
atau menggeleng sebagai tanda menolak pertanyaannya. Tapi, seolah mengerti,
Beliau lantas tersenyum lalu berlalu meninggalkan kamarku.
Memori di kepalaku seperti menggeliat
lagi. Memaksaku memikirkannya. Seorang gadis cantik berumur 18 tahun sedang
berada dalam otakku. Ia tampak ceria. Matanya berbinar-binar, dan senyumnya
mengembang lebar. Seperti sedang menyambut sesuatu yang sedang membuatnya
bahagia.
Sampai disitu aku sudah benar-benar
tidak bisa lagi membayangkannya. Aku sudah beberapa kali mencoba mengingat
gambaran demi gambaran yang menggeliat terus di kepalaku. Tapi setiap hendak
melakukannya, rasa sakit yang amat sangat bertubi-tubi seperti niat sekali
menusuk kepala ku.
“Waktunya makan, Dear.” Suara lembut
itu seperti tiba-tiba menjadi pengahapus rasa sakit di kepalaku. “Mama masak
cumi garang asam kesukaanmu loh. Kamu harus coba ya, enak banget loh.” Sambil
tersenyum mama memamerkan makasannya padaku.
Aku sudah berusaha menelan beberapa
sendok masakan mama dengan susah payah hari ini. Aku sedang tidak ingin melihat
mama menangis meski dibelakangku. “Aku benar-benar sedang berusaha, ya Allah.”
Isakku dalam hati. Senyum mama mengembang tepat saat aku memasukkan sesendok
nasi terakhir kedalam mulutku. Sepertinya ada gurat puas terpancar dari senyum
itu.
“Mama mau merapihkan meja makan dulu
ya, Sayang. Sebentar lagi pacar kamu datang. Mama malu kalau rumah kita kelihatan
begitu berantakan.” Ucap mama sambil mengelus rambutku seraya beranjak pergi
sambil terus tersenyum kepadaku.
“Pacar? Pacar siapa? Apakah aku sudah
diperbolehkan pacaran dengan mama? Seingatku belum. Tapi siapa?” Kepalaku terus
berusaha berpikir. Mencari jawaban untuk semua yang masih buram di mataku.
“Ma….. Mamaaaaaa….” Aku menjerit
memanggil seseorang yang terus merawatku dengan sabar. Tidak ada jawaban. Aku
memang kerap melakukan hal ini. Entah sejak kapan aku lupa. Tapi pastinya sejak
aku merasa suaraku semakin sulit di dengar. Bahkan oleh telingaku sendiri.
“kreeek..” suara pintu kamarku di buka
oleh seseorang.
Mataku masih mengerjap-ngerjap bingung.
“Siapa dia? Kenapa ada orang lain disini? Kemana mama? Kenapa mama
memperbolehkan orang lain masuk ke kamarku?” bertubi-tubi pertanyaan seolah
semakin membuncah di pikiranku. Diikuti perasaan takut yang melanda.
“Sayang, bagaimana keadaan mu hari ini?
Maaf aku baru bisa kemari hari ini. Seminggu kemarin aku harus ke Bogor
menemani boss ku.” Suara yang sangat nyaman itu tiba-tiba membuat pikiranku
kembali berpikir positif.
“Kamu sehat kan, Dear? Aku sempat ragu
ketika hendak meninggalkanmu waktu itu. Tapi mama mu memaksaku pergi. Maafkan
aku, Sayang.” Pria tampan itu terus berbicara tanpa jeda. Tanpa menunggu
jawaban dan reaksiku.
“Hari ini, seperti janjiku seminggu
yang lalu, aku akan menamani mu seharian. Dan kau pun harus bersedia menerima
janjiku ya.” Entah siapa namanya. Yang pasti aku begitu menyukainya sejak
pertama ia masuk ke kamarku tanpa permisi. Beberapa menit yang lalu.
Tiba-tiba tetesan embun dari syurga
berguguran. Merubah aroma rumput menjadi aroma tanah kesukaanku. Wangi sekali.
Aku benar-benar sedang menikmatinya.
Belum lagi habis hayalanku tentang
tetesan-tetesan embun dari syurga, tiba-tiba saja pria tampan itu menggendong
tubuhku. Ia barjalan sangat cepat. Ia membuatku berada di pelukannya sekarang.
Ia mambawaku. Aku sempat melihat mama sebelum pria itu membawaku ke teras, tapi
mama diam saja. Mama malah tersenyum melihat kelakuan pria tampan itu.
“Main hujannya jangan kelamaan ya, Ro.
Tante takut nanti Deara masuk angin.” Mama seolah memberi izin pada pria tampan
yang disebutnya dengan Ro mengajakku bermain di bawah tetesan embun dari syurga
ini.
“Ro..” aku mencoba melafalkan nama pria
tampan itu. Sudah sekali. Berkali-kali. Sampai aku seperti lelah
mengucapkannya.
“Lihat itu Dear, kau mau mandi hujan?
Deras sekali hujannya.” Pria tampan itu menatap lekat mataku. Ia seperti sedang
menunggu jawaban atas pertanyaannya padaku barusan. Sorot matanya berkaca-kaca.
Ia sudah berusaha menghapus butiran-butiran air yang keluar begitu saja dari
matanya. Tapi tetap saja aku bisa melihatnya. Hingga akhirnya ia berlari
sendiri kearah hujan di halaman.
Pria tampan itu tampak bahagia. Ia
berputar-putar beberapa kali sambil berkali-kali meneriakkan namaku.
“Dearaaaaaaa……” teriaknya. Aku melihat binar kebahagiaan menghujam lelaki itu.
Mata yang tadi berkaca-kaca seperti hilang begitu saja. Sekarang malah sudah
berganti gembira. Hujan seolah menjadi menghapus kepedihan dan penutup tangis
paling sempurna.
“Ro…” aku masih mencoba mengatakan nama
pria itu. “Ro…” ku ulangi lagi. Kali ini aku benar-benar merasa yakin,
telingaku sudah bisa lagi mendengar suaraku. “Ro…” ulangku lagi meyakini.
Tiba-tiba aku seperti diselimuti kebahagiaan yang telah lama aku tinggalkan.
Pria tampan itu seperti mengetahui
gempita suka ku. Ia mendekati tubuhku masih dengan pakaian yang basah. “Iya
sayang. Coba kau ulang. Ro… Aro…” ia sangat bersemangat menatap ku. Aku dan dia
sempat saling beradu tatap beberapa saat. Pandangannya membuat aku bersemangat.
“Roo… Arr… oo…” ucapku perlahan. Aku
merasa bahagia bukan kepalang. Aku merasa seperti telah di berkahi sesuatu.
Telingaku telah berfungsi. Ahk entahlah, aku tidak tahu indera mana yang
sebenarnya tidak berfungsi selama ini. Pikiranku buntu. Yang ada hanya
kebuncahan bahagia yang sedang melanda.
“Tanteeeee… Tanteeeee…” Aro berteriak
memanggil mama. Matanya terus memandangi mengawasi ku sambil duduk setengah
berjongkok di depanku.
Seperti kehilangan kesabaran menunggu
mama yang tidak kunjung datang, pria tampan itu dengan sigap langsung
menggendong tubuhku. “Kau mau merayakannya, Dear?” ia mengajakku berbicara
lagi. Belum lagi aku sempat merespon, pria itu lantas membawaku bermandi hujan.
Tapi entah mengapa, air hujan yang aku sempat kira akan membalut tubuhku hingga
menggigil malah terasa hangat. Entahlah, mungkin karena aku bermandi hujan
dalam peluknya atau karena sang Pencipta hujan sedang lupa menutup kran air
panas hingga bercampur dengan dinginnya air hujan yang sebenarnya. Entahlah,
aku sedang tidak ingin membahasnya. Aku tengah bahagia, hanya itu yang ingin ku
genggam saat ini.
... bersambung