“Hujan
itu anugerah. Hujan itu tanda kehidupan. Awal bersemainya cinta. Cinta yang
berakhir dengan meninggalkan rindu di dada. Seperti hujan yang jatuh, lalu
membekas di tanah tapi tidak melulu meninggalkan luka.”
Aku selalu merindukanmu. Tidak pernah
ada alasan yang pas untuk menjelaskan mengapa rindu itu terus bersarang
dikepala ku. Bahkan hujan yang biasanya menghibur kini berbalik menyudutkan ku.
Selalu membawa bayangmu setiap
menemui ku. Membuat sudut mata
ku basah. Menimbulkan banyak tetes rindu yang kemudian menyatu dalam lirih doa
yang ku lantunkan perlahan pada
langit yang tidak lagi terlihat biru.
Hari ini hujan sudah dari pagi
mengguyur kota. Pun hati ku. Menghasilkan banyak genangan rindu yang tidak
bertuan. “Dear hujan yang selalu
menggenang dihatiku. Ku titipkan genangan rindu ini untuknya. Untuk semua
ingatan tentang kami berdua dimasa lalu.” Bibir ku seperti lancang bergerak
sendiri. Digerakkan pikiran yang sudah diambil alih hati.
Masih mencerna rindu. Aku berdiri
di depan jendela kamar tempat biasa aku memandang mu berlari menghindari
hujan yang sedang dijamu semesta. Mengharapkan bayang mu yang mulai memudar karena kesibukan yang terus
merajai pikiran ku seminggu ini.
“Itu kamu. Ada kamu
disana. Dan ada aku juga.” Pekik ku histeris dalam hati.
Tiba-tiba rinai
hujan yang sedang ku pandangi itu berubah. Menjadi tampak jelas. Ada kamu. Aku.
Dan ….
“Coba kau lihat anak kecil itu. Itu.
Yang sedang berlari-lari kecil sambil mendorong mobil mainan merah.” Tunjukku
memecahkan keheningan di antara rapatnya bahu kami yang sama-sama membeku
kedinginan dibawah hujan dan suara deru langit yang dari tadi sedang berlagu.
“Mana? Banyak anak kecil disana.” Jawab
mu sekedarnya namun seperti terpaksa.
“Itu. Anak yang sedang berlari
dibawah hujan, dengan kaos biru dan sandal jepit kuning.” Ulangku dengan penuh
antusias. “Anak itu seperti benar-benar sedang menikmati hujan. Liatlah ekspresinya!” aku semakin
bersemangat. Ku lihat senyum mengembang dari bibir mungilmu.
“Tampak biasa.” Ucapmu masih dengan
kesombongan yang dari dulu kau pelihara. “Ahk, ternyata terkadang senyum tidak melulu berarti
suka. Bisa juga hanya cara untuk menyembunyikan luka dan mempertahankan bahagia
yang tersisa.” Guman ku dalam hati.
“Biasa?
Maksudmu?”
Aku tak melanjutkan kata-kataku. Sudah ku duga. Kau bahkan tidak pernah
mengerti apa yang ada di pikiranku.
“Ya biasa. Sebiasa
hujan ini.” Ucapmu lagi dan
masih tetep datar seperti tadi. Tidak ada ekspresi lebih dari wajah ayu mu.
Kau tidak suka
hujan! Itu lah kali pertama aku menjudge seseorang dengan terburu-buru. Dan itu
bukan tanpa alasan. Aku melihat jelas dari wajahmu, ketika kau memperhatikan ku
girang menyambut hujan.
Kami sama-sama
diam. Aku sudah tidak berniat melanjutkan perbincangan yang ku bayangkan akan
berwarna. Meskipun hujan seperti sedang memberi waktu pada kami untuk menikmati
kebersamaan. Tapi kau seperti tetep tidak bisa peduli. Kau tampak gusar,
berkali-kali ku lihat kau membolak-balikan tangan kecilmu untuk sekedar
memastikan waktu. Seolah ingin berkata jenuh karena dari tadi hujan terus
membiarkannya bersama ku.
Itu terakhir
kali aku melihatmu. Memandangmu dari dekat. Sedekat bahu kita menyatu saat itu.
Hujan semakin
deras ketika aku sadar, hujan hanya sekedar mengembalikan sesaat ingatanku
tentang kamu. Membiarkan aku mengenang masa lalu yang sudah semestinya aku
lupakan.
Aku tidak pernah
meninggalkan mu. Bukan alasan bagiku untuk membenci bahkan meninggalkanmu
meskipun kau tidak punya kesamaan yang sama seperti aku, mencintai hujan. Kau sendiri
yang menghilang. Menjauhkan diri dari ku yang terus menerus kau bilang menyeramkan,
karena terus seperti menTuhan kan hujan.
Harusnya, kau
tanya dulu pada ku. Aku tidak men-Tuhan kan hujan. Tuhan ku hanya satu. Dan hujan
adalah kebahagiaan yang diberikanNya untuk ku. Kau menjudge ku dengan hina.
Dengan cara yang bahkan tidak disukai oleh Tuhan mu. Pun Tuhan ku.
Tapi bagaimana
pun kamu. Hujan tetap saja memaafkanmu. Membiarkan aku melulu berbicara tentang
kamu. Mestinya kau bangga, hujan justru selalu membawa bayanganmu. Sepenggal kenangan
yang tidak sengaja kau susun untukku dulu. Karena hujan itu hebat. Ia selalu punya
naluri. Ia selalu tahu, dimana ia harus menjatuhkan rindu, dan memberikan
pengertian pada ku, bahwa tidak ada yang buruk untuk mengenal dan merindukanmu.
“Aku adalah satu dari jutaan tetes hujan yang terus
menerus menghantarkan rindu. Adakah kau merasakan hadirku?”
Kepada hujan
yang menerus kutitipkan rindu pada tiap rintikmu. Tolong sampaikan padanya, “aku
lah kehidupan baru yang menjadi bahagia setelah ia temukan”.
Bandar Lampung,
6 Februari 2012
#PKW