Menjadilah Hujan Yang Memaafkan :)

Senin, 06 Februari 2012



“Hujan itu anugerah. Hujan itu tanda kehidupan. Awal bersemainya cinta. Cinta yang berakhir dengan meninggalkan rindu di dada. Seperti hujan yang jatuh, lalu membekas di tanah tapi tidak melulu meninggalkan luka.”

Aku selalu merindukanmu. Tidak pernah ada alasan yang pas untuk menjelaskan mengapa rindu itu terus bersarang dikepala ku. Bahkan hujan yang biasanya menghibur kini berbalik menyudutkan ku. Selalu membawa bayangmu setiap menemui ku. Membuat sudut mata ku basah. Menimbulkan banyak tetes rindu yang kemudian menyatu dalam lirih doa yang ku lantunkan perlahan pada langit yang tidak lagi terlihat biru.

Hari ini hujan sudah dari pagi mengguyur kota. Pun hati ku. Menghasilkan banyak genangan rindu yang tidak bertuan. “Dear hujan yang selalu menggenang dihatiku. Ku titipkan genangan rindu ini untuknya. Untuk semua ingatan tentang kami berdua dimasa lalu.” Bibir ku seperti lancang bergerak sendiri. Digerakkan pikiran yang sudah diambil alih hati.

Masih mencerna rindu. Aku berdiri di depan jendela kamar tempat biasa aku memandang mu berlari menghindari hujan yang sedang dijamu semesta. Mengharapkan bayang mu yang mulai memudar karena kesibukan yang terus merajai pikiran ku seminggu ini.

“Itu kamu. Ada kamu disana. Dan ada aku juga.” Pekik ku histeris dalam hati.

Tiba-tiba rinai hujan yang sedang ku pandangi itu berubah. Menjadi tampak jelas. Ada kamu. Aku. Dan ….

“Coba kau lihat anak kecil itu. Itu. Yang sedang berlari-lari kecil sambil mendorong mobil mainan merah.” Tunjukku memecahkan keheningan di antara rapatnya bahu kami yang sama-sama membeku kedinginan dibawah hujan dan suara deru langit yang dari tadi sedang berlagu.

“Mana? Banyak anak kecil disana.” Jawab mu sekedarnya namun seperti terpaksa.

“Itu. Anak yang sedang berlari dibawah hujan, dengan kaos biru dan sandal jepit kuning.” Ulangku dengan penuh antusias. “Anak itu seperti benar-benar sedang menikmati hujan.  Liatlah ekspresinya!” aku semakin bersemangat. Ku lihat senyum mengembang dari bibir mungilmu.

“Tampak biasa.” Ucapmu masih dengan kesombongan yang dari dulu kau pelihara. “Ahk, ternyata terkadang senyum tidak melulu berarti suka. Bisa juga hanya cara untuk menyembunyikan luka dan mempertahankan bahagia yang tersisa.” Guman ku dalam hati.

Biasa? Maksudmu?” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Sudah ku duga. Kau bahkan tidak pernah mengerti apa yang ada di pikiranku.

“Ya biasa. Sebiasa hujan ini.” Ucapmu lagi dan masih tetep datar seperti tadi. Tidak ada ekspresi lebih dari wajah ayu mu.

Kau tidak suka hujan! Itu lah kali pertama aku menjudge seseorang dengan terburu-buru. Dan itu bukan tanpa alasan. Aku melihat jelas dari wajahmu, ketika kau memperhatikan ku girang menyambut hujan.

Kami sama-sama diam. Aku sudah tidak berniat melanjutkan perbincangan yang ku bayangkan akan berwarna. Meskipun hujan seperti sedang memberi waktu pada kami untuk menikmati kebersamaan. Tapi kau seperti tetep tidak bisa peduli. Kau tampak gusar, berkali-kali ku lihat kau membolak-balikan tangan kecilmu untuk sekedar memastikan waktu. Seolah ingin berkata jenuh karena dari tadi hujan terus membiarkannya bersama ku.

Itu terakhir kali aku melihatmu. Memandangmu dari dekat. Sedekat bahu kita menyatu saat itu.

Hujan semakin deras ketika aku sadar, hujan hanya sekedar mengembalikan sesaat ingatanku tentang kamu. Membiarkan aku mengenang masa lalu yang sudah semestinya aku lupakan.

Aku tidak pernah meninggalkan mu. Bukan alasan bagiku untuk membenci bahkan meninggalkanmu meskipun kau tidak punya kesamaan yang sama seperti aku, mencintai hujan. Kau sendiri yang menghilang. Menjauhkan diri dari ku yang terus menerus kau bilang menyeramkan, karena terus seperti menTuhan kan hujan.

Harusnya, kau tanya dulu pada ku. Aku tidak men-Tuhan kan hujan. Tuhan ku hanya satu. Dan hujan adalah kebahagiaan yang diberikanNya untuk ku. Kau menjudge ku dengan hina. Dengan cara yang bahkan tidak disukai oleh Tuhan mu. Pun Tuhan ku.

Tapi bagaimana pun kamu. Hujan tetap saja memaafkanmu. Membiarkan aku melulu berbicara tentang kamu. Mestinya kau bangga, hujan justru selalu membawa bayanganmu. Sepenggal kenangan yang tidak sengaja kau susun untukku dulu. Karena hujan itu hebat. Ia selalu punya naluri. Ia selalu tahu, dimana ia harus menjatuhkan rindu, dan memberikan pengertian pada ku, bahwa tidak ada yang buruk untuk mengenal dan merindukanmu.

“Aku adalah satu dari jutaan tetes hujan yang terus menerus menghantarkan rindu. Adakah kau merasakan hadirku?”

Kepada hujan yang menerus kutitipkan rindu pada tiap rintikmu. Tolong sampaikan padanya, “aku lah kehidupan baru yang menjadi bahagia setelah ia temukan”.


Bandar Lampung, 6 Februari 2012
#PKW



Ini Lah Maaf

Kamis, 02 Februari 2012

Maaf bukan hanya sebuah kata, namun merupakan bentuk janji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.

Miskin


Miskin bukan berarti memiliki sedikit, tapi menginginkan terlalu banyak & lupa tuk mensyukuri apa yg tlah mereka terima.

Syair Hujan

Rabu, 01 Februari 2012
Hujan adalah fase, ketika awan gugur luruh terbunuh. Hujan ibarat darah langit, datang membahasi bumi, memberi siklus baru bagi musim yang mulai kerontang. Dan pelangi akan segera tiba setelah hujan mulai hendak usai.

ini HUJAN

Hujan tidak pernah turun sendiri.
Mereka selalu bersama.
Turun dengan warna yang sama,
dari langit yang sama.
Hujan adalah representasi kita dan orang-orang sekeliling kita seyogyanya.