Menutup Mata, Membesarkan Hati

Selasa, 12 Juli 2016

Sudah 7 bulan sejak awal pertengkaran hebat kami akhir tahun lalu. Kami dalam arti dua orang yang masih berada didalam lingkaran suatu hubungan. Dalam ikatan yang sudah terlanjur lama, tapi belum juga ada kepastian akan seperti apa akhirnya karena sudah sengaja dihancurkan oleh salah satunya; priaku.

Awal tahun 2016 ini aku seperti dibukakan matanya oleh Allah. Ditegur untuk semua keegoisan dan kelalaian selama ini oleh-Nya; Sang Maha Pemberi Nikmat. Cobaan besar diberikanNya untukku. Diuji kesabaran dan emosinya. Memberitahu padaku artinya sakit, artinya berjuang, artinya membenci, hingga melukai. Sangat komplit. Semua seperti sengaja berputar dikepalaku tanpa jeda. Tanpa ada titik atau koma.

Dan berdoa adalah salah satu yang akhirnya aku candu selain dia. Berkali-kali dalam sehari. Dengan doa yang sama dan untuk harapan serta keinginan yang sama.

Meski aku membenci hal yang dilakukan pria itu padaku, tapi mendoakannya adalah apa yang tidak pernah bisa aku lewatkan untuknya. Karena membenci, bukan berarti berhenti mendoakan. Aku mungkin kerap mendoakan hal-hal buruk ketika marah. Tapi kali ini, untuk pria ini, aku benar-benar berusaha mendoakan hal-hal baik untuknya.

Masalah kami cukup berat kali ini. Terutama untukku. Aku seperti sedang diberi teguran keras, jawaban untuk semua keraguanku kepada pria yang sudah 11 tahun ada untukku sudah terjawab. Tapi alih-alih meninggalkan, aku justru melulu berusaha mempertahankan. Rasa sayang dan takut kehilangan malah justru memeluk hatiku sangat erat. Aku bertahan. Bukan karena aku mampu memaafkan. Tapi karena hubungan ini layak aku perjuangkan.

Sebagai manusia biasa, memaafkan mungkin dengan mudah bisa aku ucapkan begitu saja. Tapi dalamnya hati? Inilah bagian tersulit dan terberat ketika aku bilang sedang diberi ujian. Aku nyatanya belum mampu sepenuhnya mengikhlaskan, belum mampu sepenuhnya memaafkan, bahkan untuk memaafkan diri sendiri karena sudah memberi kesempatan untuk dilukai. Memang nyatanya, mengobati tidak semudah yang kita katakan.

Tidak perlu aku sebutkan, mungkin kamu sudah tau masalah kami ini. Dan dengan berani, kamu akan mengatakan bahwa aku bodoh. Kenapa? Karena disini, didalam masalah ini, hatiku yang terluka, tapi aku yang memaafkan, aku yang bertahan, dan aku juga yang memperjuangkan. Tak apa kalau aku terlihat bodoh. Nyatanya cinta memang tidak sebercanda itu. Cinta memang harus diperjuangkan. Tanpa jeda. Itulah kenapa aku masih mampu mendoakan hal-hal baik untuknya.

Semoga saja pilihan untuk terus memperjuangkan dan melulu mendoakan bukanlah pilihan yang salah. Karena banyak hal menjadi sia-sia justru karena kita salah menentukan pilihan.

Ketika aku menulis ini, jemari pria yang sedang aku perjuangkan itu baru saja hendak meremas kembali jari-jariku dengan erat lagi. Jemari tangannya seolah berkata "kita bisa menua bersama". Pria itu mungkin memiliki banyak dosa kepadaku, dan kepada Allah Sang Pemberi Nikmat. Tapi tidak akan jadi masalah berarti untukku. Toh aku; yang notabene juga pendosa, juga tidak pernah luput dari kesalahan.

Katika kita diperlakukan buruk, doa-doa baik nyatanya justru lebih sering didengar dan menjadi pertimbangan-Nya untuk segera dikabulkan. Karena tanpa kita sadari, satu persatu dari doa-doa baik yang aku ucapkan nyatanya sudah terwujud. Meski bukan diwaktu yang aku inginkan, tapi jelas diwaktu yang paling tepat.

^_^

Semoga, semoga, dan semogaaa.. Doa-doa baik yang aku candu untuk pria ini bisa didengar dan diijabah oleh-Nya. Agar perlahan situasi rumit nan komplit ini bisa cepat berlalu atau setidaknya berakhir manis. Aamiin, aamiin, aamiin ya robbalalaamiin..

Metro,
Sambil mendengarkan Teman Hidup by Tulus

0 komentar:

Posting Komentar

Hujani Komentar Please